Jumat, 26 Desember 2014

Tsunami : Bukan Sekedar Kenangan

Sudah sepuluh tahun kisah sedih di hari minggu berlalu. Ratusan ribu orang tewas meninggalkan harta benda dan sanak saudara. Tak ada yang tersisa kecuali puing-puing sisa gelombang air dan kepiluan disanubari. Tragedi Tsunami sungguh menjadi suatu valuable lesson yang masih kami rasakan sampai sekarang. Ya, bagi kami, orang Aceh.

Hari ini, bertepatan pada hari yang penuh berkah, Jumat (26 Desember 2014), seluruh masyarakat Aceh mengenang peristiwa tragedi Tsunami. Bencana alam yang fenomenal ini mampu menyedot perhatian dunia. Seperti yang kita ketahui bahwa dulu ketika Aceh terpuruk, begitu banyak warga negara asing yang berasal dari suku, ras, dan agama yang berbeda ikut memberikan bantuan berupa materi maupun semangat spiritual. Sehingga seiringnya waktu, Aceh kini menjadi provinsi yang dikenal oleh dunia luar.

Namun pertanyaannya, apa yang pantas untuk dikenang? Tak semua orang tahu. Ingatlah, bahwa ini bukan seremonial belaka. Ya, aku mengerti mengapa semua orang menjadi “mehmoh” ketika  masuk ke bulan Desember. Bukan karena hari ibu, hari ayah, hari natal atau hari semacamnya. Tapi karena pada 26 Desember 2004 Aceh pernah ditimpa musibah besar. Sungguhpun hari ini menjadi hari yang bersejarah untuk Aceh dan dunia, tapi hakikatnya dampak kesedihan bagi orang Aceh tidak hanya selesai dalam satu hari. Tapi melekat kuat hingga hari ini. Sepuluh tahun lamanya. And now, It is really our appropriate  time to contemplete.

Aku adalah seorang gadis yang berasal dari daerah pantai barat selatan. Alhamdulillah kami sekeluarga selamat dari ganasnya Tsunami. Masih terbekas erat dibenakku, dipagi hari itu aku masih saja bisa bersantai setelah gempa 9 SR merobohkan menara masjid. Aku masih saja melalang buana berkeliling kota. Padalah mungkin jika lalai sedikit lagi, tak tahu lah, mungkin aku tak ada lagi di dunia ini.

Waktu itu aku masih berumur 12 tahun. Masih berjiwa ABG dan sering acuh tak acuh dengan dunia luar. Tapi ketika Tsunami terjadi, aku merasakan rasa syukur yang tiada tara. Adikku, Dita yang berumur 7 tahun kebetulan pada hari itu tidak tinggal bersama kami. Ia tinggal bersama pengasuhnya jauh dari rumah dan dekat dengan bibir pantai. Aku masih jelas teringat, ayah dan ibu begitu resah gelisah dan sempat menangis karena anaknya yang ketiga tak tahu lagi nasibnya. Ternyata Allah masih sayang pada kami. Ketakutanku kehilangan adik perempuan akhirnya mereda ketika ayah berhasil menemukan Dita bersama pengasuhnya sedang melewati air tsunami yang saat itu sedang surut.

Beberapa hari pasca Tsunami banyak sekali mayat yang hitam legam menggembung disepanjang pinggir jalan. Bau busuk begitu menyengat hidungku. Begitu menyedihkan. Aku membayangkan betapa sedihnya keluarga yang ditinggalkan. Mungkin ia meninggal ketika asik lari pagi di hari minggu, sedang asik menonton film kartun favorit, atau bahkan masih dalam keadaan tertidur. Aku juga masih ingat, ketika ketersediaan bahan pangan sangat terbatas, aku rela berlari-lari mengejar helikopter. Helikopter tersebut memberikan bantuan dengan cara melempar beberapa kotak mie. Apa daya, beberapa bungkus mie berserakan dan hancur ketika sampai ditanah. Tapi tetap aku ambil dan aku  bawa pulang untuk dimakan.

Sabtu, 20 Desember 2014

Cerita dibalik Indrapuri


Pada masa kesultanan Sultan Ali Mughayat Syah, diawal masa pemerintahan kesultanan, Aceh Besar berasal dari tiga daerah bekas kekuasaan kerajaan hindu yaitu Indrapuri, Indrapatra, dan Indrapurwa yang kemudian dikenal dengan istilah Aceh Lhe Sagoe. Sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam Aceh Lhe Sagoe, Indrapuri menjadi daerah yang tidak hanya menarik dalam segi sejarah, tapi juga disetiap lini kehidupan didalamnya.

Indrapuri adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang memproduksi padi terbesar setelah Kecamatan Montasik dan Kecamatan Seulimum. Hasil produksi padi di Kecamatan Indrapuri pada tahun 2012 adalah 28.188 ton (BPS). Hasil yang sangat fantastis, bukan? Ditambah lagi, menurut data dari Badan Ketahanan Pangan Aceh tahun 2011 menunjukkan bahwa Aceh mampu mencapai surplus beras hingga 497.457 ton. Kecamatan Indrapuri menjadi daerah yang memberikan kontribusi dalam hal produksi beras di Aceh.
Sekelumit cerita inspirasi muncul dari sebuah perkampungan kecil di Indrapuri. Daerah yang terkenal dengan hamparan sawah hijau ini ternyata menyimpan nilai kehidupan yang tak banyak diketahui orang. Dibalik panorama beludru padi hijau yang indah, banyak raut wajah berpeluh yang sedang berjuang hidup demi sesuap nasi. Aku, seorang mahasiswa pertanian merasa beruntung karena menemukan the real life dari tiap canda tawa dan kesedihan mereka, para petani padi.

Kata orang, skripsi memberikan “ruh” yang berbeda disetiap prosesnya. Memang benar. Skripsi hanyalah secuil dari tantangan besar yang akan muncul dimasa depan. Mengapa? Karena skripsi sebenarnya menyimpan pesan moral yang luar biasa jika prosesnya benar-benar dinikmati. Selama lebih dari satu bulan, akhirnya aku menyelesaikan tahap pengumpulan data primer disana. Penelitian akhir yang menguras waktu, biaya, dan tenaga ini memberiku pengalaman yang sangat berkesan.

Terdapat tiga kampung yang menjadi daerah penelitian. Kampung Cureh, Kampung Cot Kareung dan Kampung Mureu Bueng Ue. Kampung tersebut adalah kampung yang dinobatkan menjadi kampung dengan program Demapan (Desa Mandiri Pangan) oleh Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan provinsi. Mayoritas penduduk di daerah tersebut bisa dikatakan masih tergolong miskin.

Banyak sekali lika-liku berpeluh lelah ketika menjelajahi kampung-kampung ini. Proses pertama yang harus aku lalui sebelum berani memasuki perkampungan adalah mempersiapkan berkas seperti surat keterangan penelitian, kuesioner dan note book. Persiapan yang tak kalah pentingnya adalah persiapan finansial. Tentu saja dengan jarak daerah penelitian yang lumayan jauh dari Banda Aceh, aku tetap harus mempertimbangkan isi dompet. Untungnya aku selalu mencatat semua pengeluaran sehingga segala kebutuhan bisa aku pertimbangkan dengan baik.

Rabu, 24 September 2014

Dewi Sandra’s Wise Quote and Library


I love sitting here
I got used to reading some books at library if campus is getting so terrible for my mind. If I got a “hectic-campus-day” and I had finished all of campus duty already, I prefer going to campus library than boosting at canteen. Stay cool over there and enjoy browsing information from internet. Yes of course, staying at library is more complete if my laptop, note book, and a pen had been on my table. Not truly such a fascinating habit, but I love do it.

My favourite part of Unsyiah Library is Journal Corner. I would like to visit this corner because there are many books, journals, magazines, brochures, etc. On Monday (Sept 23th 2014), I went to Unsyiah library by myself. I felt sad because my lecture canceled appointment we made yesterday. Huft, I was very disappointed. Annoyed.


Weekender Magazine was my best alternative to read. Actually, on every chance to visit this corner, I wish I could read all of them. But because of limit time, I just read one or two journal. Well, Weekender Magazine catched my eyes. I looked Dewi Sandra on its cover (yeah, although she hasn’t wore hijab yet). I was interested with all the content in.

Minggu, 31 Agustus 2014

Refresh Your Brain!

What is your feeling when you are depressed? Do have high appetite? Singing by yourself or watching some movies?  Alright, I am used to having exercise like jogging to make my brain to be fresh again. Browsing and writing will make me better than before.

In fact, we will be depressed if we do not get what we want. Hopeless is the crucial thing that can make us to be unstable facing on all the problems. Some people do not take the positive side of depression. They make many negative things that very unuseful for their body and soul. Eating to much is one of the easiest example. And eventually their weight will increase. What then? They will be regret, they will feel guilty why they do not take care for their weight.

My special adviced me that if I am getting depressed for something, I have to make my brain to be fresh with jogging, going around and doing all my hobbies. I absolutely realize it. So that if I get some problems, I will solve it one by one and take a break to refresh my brain. Actually it is not all about my brain but also for my body and soul. I think having a simple exercise such as jogging or walking around is  the best way to refresh my brain. it is better than eat soft drink or fast food, isn’t it? Thanks my special.

Well, this amazing photos was taken at Krueng Aceh. I stopped riding motorcycle and immadiatelly took this landscape. My friend said, the blue sky is always relaxing. Exactly! I hope I can face on all my problems soon. Do the best!


Kamis, 21 Agustus 2014

Memetik Buah di Negeri Meutuah

Pemilihan Umum (pemilu) yang sering disebut sebagai “Pesta Demokrasi“ merupakan suatu sarana untuk menentukan pemimpin baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pemerintahan tingkat pusat. Layaknya seperti sebuah pesta, pemilu dilaksanakan secara meriah oleh masyarakat yang ditandai dengan banyaknya baliho yang terpampang dijalan, iklan politik, dan bahkan keterlibatan media yang mengekspos tiap menit berita terkait pemilu. Pada dasarnya, pemilu di Indonesia yang menganut sistem demokrasi ini adalah ikon dari gerak supremasi kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpin secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
 9 Juli 2014 menjadi hari penentuan nasib bangsa Indonsesia lima tahun yang akan datang. Pemilihan presiden (pilpres) kini benar-benar memberikan angin segar sekaligus hawa panas pada masyarakat. Bagaimana tidak? Pelaksanaan pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan kandidat. Dampak politik negeri yang dipengaruhi oleh kedua pasangan kandidat ini sungguh luar biasa. Masing-masing tim sukses berlomba-lomba mencari dukungan dan mencari strategi jitu menarik hati pemilih. Masyarakat kini dipengaruhi oleh visi dan misi dua pasangan kandidat, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla.

Selasa, 22 Juli 2014

Optimize The Third Asharah of Ramadhan

Now we have been in the last 10 day of Ramadhan. The last 10 day of Ramadhan or the third asharah is usually called The Days of freedom From The Hellfire. Allah is so fond toward humans because He divided 10 days of Ramadhan with its each advantages. This is a notice that Allah gave "gifts" to anyone who truly understand and perform the essence of Ramadhan. If it is a gift, so who does not want to?

For several days, I am fasting in Banda Aceh. I habitually do shalat tarawih at Masjid Al-Makmur Masjid or commonly called Masjid Oman. There is a "feel" when shalat in that masjid. Not only because of the beautiful architecture style of masjid, but also the atmosphere when we do pray. It was very soothing! Imam who was directly brought from  Arab read the letters of AlQur-an softly. I felt more peaceful  and calm when heard it.

Masjid Al-Makmur Lamprit, Banda Aceh
Along with my dearest, after tarawih prayers, we usually read AlQur-an despite of only just about 30 minutes. I had planned about ODOJ (One Day One Juz), but it is still very far behind the reading target. The "natural" period of woman turns to leave my Reading AlQur-an habitual. But I'm sure, where there is will, there must be a way. Even if my target during Ramadan is far from the fact, but I still do it as I can. The target has to stay awake.


Sharing is Caring
Of course we’ve all known about The Third Asharah of Ramadan’s virtue. It is to be a gift of Allah which have to be fought because not all of us can survive it.

Phenomena in society seen that closer to Eid time, the more they enjoy shopping center. They are being busy with mode and prestige. Masjid is becoming forgotten by them. How poor..

While gifts Allah has clear meaning, many people do not pay it attention. Actually time keeps rolling all the time. Time constantly keeps running without being able to go back again. This is what I feel in Ramadan this year. I wasted Ramadan last year. That is why I want to maximize my fast and hope in Allah ridha.

Kamis, 17 Juli 2014

Charity For Palestine

Caring with Palestine will be useless if we do nothing for it. Many people think that helping Palestine is very hard because in reality they have to be a volunteer to fight againt Israel’s attacks. So, what are your contributions to support people over there? Have you been ready to fight them? I absolutely sure some of you have not been ready yet! Piteous and horrible pictures which shared via social media extremerely built your fear. But you only just update Palestine’s info from media then broadcast it on bbm, share it on facebook, twitter, and give more attention through instagram. Unfortunately, some of you share it without read it’s caption. Our feeling is just “pitiful”, and “anger”. We just do nothing!
Okay, sharing information about Palestine’s is good idea to make other people care with, but it will be better if we can do the real action even though it is not a significant action for helping. That is charity.

The best attention for them that we can give is charity. Yap, solidarity by fund raising. I think it is just the easiest thing we can do for them. I did it along with friends at Simpang Lima the day after yesterday (July 15th 2014). That was my fascinating experience I have ever done. Truly, it was my second experience walking on and accrossing the road at traffic light! We did it! Haha. I did not why I took that risk. Everybody might be shy standing on the road while holding a box for asking “Rupiah”. Yet I just enjoyed it! I really did not care with anyone who had stopped at traffic light. I did not care to dust or crowded situation on that afternoon. Occasionally I had to keep smile if a driver teased me. Huwoo! >.<

Senin, 30 Juni 2014

The True Winner

If I ask you who your favorite football players are, maybe some of you will mention Lionel Messi,  Christiano Ronaldo, Neymar, Zidane, Rooney, Robin Van Persie, Fabregas or the other players. Besides, I am sure that you have a favorite football squad. You definitely have a favorite player because this is a great time for football mania. FIFA World Cup 2014!

Yap. Football is the most favorite and famous sport in the world. Football is universal sport which can unite various of regions, coutries, and ethnics. World Cup is special moment which is every country fights for victory, fight to get a world cup. Therefore, It is truly not easy to fight. Every player has to obey the coach’s and FIFA’s  rules itself.

Alhamdulillah, Ramadhan is coming. France, Aljazair, and Germany are countries which have most muslim players. Bacary Sagna, Mesut Oezil, Yaya Toure, Karim Benzema are most high profile muslim players still in World Cup. We have to be proud with Karim Benzema, Tolo Toure and Madjid Bougerra (Captain Team of Algerian) who still fast during tournament. Bougerra said, “Some players will postpone their fast for another time, but depending on my physical  condition, I think I will do it”.
Even though observance fasting World Cup during Ramadhan is a risk challenge for them, Demba Ba, Chealsea Stiker also said to BBC that “My religion is the most important in my life. Islam is the most important than football.”. So will Ramadhan affect World Cup’s muslim player? Fasting during World Cup is not a big deal. Even it has many risks, FIFA studied this case with positive results, “If you do it intelligently, you can adapt perfectly”.

Ramadhan’s Victory

For one month, Muslim around the world will abstain eating and drinking during daylight. Fasting is an act that cleans one’s mind, body and soul from the spiritual and physical impurity of this world. It is one of five pillars of Islam, thus it is obligatory upon every Muslim, male, female who is healthy, sane, and pass the age of puberty.

Well, similar with Wold Cup, Ramadhan is also has purposes.  Both Hungry and thirsty are men’s lowest point against their bad desires. It is not easy to get a victory. Ramadhan can be physical, mental, and spiritual challenge for any human being. The only key to get it is to face Ramadhan with right attitude and prepare for the challenge ahead.

Many thing can we do during this holy month. Besides discipline to abstain eating, drinking, Ibadah is also the most important. Such as contact with Quran, Taraweh, Zakat, I’tikaf, Du’a, Giving and so on. Victory of Ramadhan is doing those Ibadah and avoid the habit breakers.

Ramadhan and World Cup. Which One You Concern?
Are you sincere to stay up all night to watch your favorite squad’s match? I think many people were very cheerful to wait and enjoy World Cup but only some of them thanks to Ramadhan coming. In fact, Ramadhan is the most awaited month which brings all sort of happiness, goodness and merci of Allah. Ramadhan is the way to get the true victory.


The great World Cup match is very interesting but we have to more concern about Ramadhan. However, World Cup is just a game! Do not pawn the wonderful gift of Allah with a game. Do not trapped with World Cup joyful. That is people’s mistake when fast. They happy watching match but they do not do Ibadah at all. They do not keep contact on reading The Holy Qur-an. They choose to watch a game than head out Taraweh.

“The month of Ramadhan [is that] in which was revealed the Qur'an, a guidance for the people and clear proofs of guidance and criterion…” (Al-Baqarah : 185)

Truly, success is making the hereafter (Akhirat) to be a final goal. People who fight to do all the the good things (controling desires) during Ramadhan are the true winners. The true cup is sincerity to keep struggle and try to do the best efforts during Ramadhan. Not Dutch, Argentina, or Germany squad. It’s just a game in the world.

On this great moment. We have to concern that fasting is a primarly thing. Ibadah is secondary and watching the World Cup at night after Taraweeh or Sahur is a tertiary thing. Watching World Cup is just get the cheerful during world Cup. But if we fast well, we get the blissful of Allah in our life. We have to draw closer to Him and earn His paradise through worship in this month.

So, What Are You Targets?
Spending Ramadhan has to be prepared to maintain the spirit. Like mangos are pressed fot its juice, I have targets during Ramadhan also. It is for having my most Ramadhan successful ever. The most my important target are to be a sincere woman (not girl), a thankful woman, and a woman who always remember Allah.

I hope I become a productive muslim even after Ramadhan. I will keep contact with Qur’an  and get “Khatam”. Last Ramadhan I could not do this Ibadah well. So I have strong will to read at least one juz per day at this moment. To make it easy, I divide it on 30 days. I divide it on 3 time a day. I read 4 pages after Subuh, Before Dzuhur, and after Ashar. Alhamdulillah, right now I am in fourth juz.

I wish I can write at least 4 articles for one month on my blog. Ya of course, caring to my blog is the important thing. Through this target I can push myself to be more productive in writing. Additionally, because I have to finish my research proposal soon, I will do my best effort for it. Reading some journals, articles and books. Going to campus to discuss my research along my lectures, learning TOEFL, and also gathering with my communities.  The last but not the least, I absolutely want to send my article to media such as magazine and newspaper. Even it does not published, I will try to send it. I have Ramadhan Action Plan 2014 which was downloaded from internet. It makes me easier to checklist my plans each day on Ramadhan.

So guys, what about your targets? What will you do during Ramadhan? Just watching football match? That is really not good choice! Remember, do not consider that Ramadhan this year is a small thing. Be grateful!
Who want to be  a true winner? You? Not only you. I want become a true winner too. May Allah make this Ramadhan beneficial, productive and rejuvenating for our body and soul. May He answer our prays, accept our deeds, keep us steadfast and intellectually and spiritually revive until the next Ramadhan. Amin ^_^

Kamis, 12 Juni 2014

It’s The Climb

It’s The Climb
There’s always gonna be another mountain.
I’m always gonna wanna make it move.
Always gonna be an uphill battle
Sometimes you’re gonna have to lose.
Ain’t about how fast I get there.
Ain’t about what’s waitin on the other side.
It’s the climb

Lagu ini terus ku putar. Ku besarkan volume suaranya agar tidak kalah dengan suara angin kencang pagi ini. Derasnya hujan diluar rumah dan hembusan angin yang masuk disetiap celah kamar sedikit pun tidak mampu mengalihkan pendengaranku. Aku terus fokus ke arah handphone Nokia merah yang sedang berlagu. Setidaknya selain bisa menikmati irama musiknya, aku juga bisa menangkap kata dan gaya pronounciation-nya si Miley. Meski sedikit.

Aku terlena. Penggalan lirik lagu Miley Cyrus ini sungguh membakar semangat. Lagu ini terus ku putar sampai beberapa kalimat terhafal diluar kepala. Ah, ternyata tidak mudah ya mengumpulkan energi positif. Butuh waktu. Butuh katalisator agar energi positif itu bisa masuk ke dalam sel-sel darah dan menyelinap masuk ke saraf otak. Pagi ini kupakai cara mendengarkan musik barat. Yeah, It really works!

Benar kata Miley Cyrus di dalam lirik lagunya, It’s The Climb. Bahwa hidup ini seperti pendakian, suatu proses perjalanan menuju puncak. Tentu saja puncak ini hanya terlihat bagi mereka yang punya visi dalam hidup. Kalau kita tidak menjalani proses hidup ini, ya kita akan berjalan di tempat itu-itu saja. Aku merenung, dalam suatu pencapaian, terkadang aku cepat sekali putus asa dan berhenti ditengah jalan.

Hembusan angin menyambar wajahku…

Aku beralih fokus ke arah layar laptop. Ku buka folder-folder masa lalu yang berisi foto-foto masa SMA dan kuliah. Banyak sekali foto yang tersimpan di laptopku. Dulu aku terbiasa mengabadikan setiap event di kampus lewat foto. Jadi tak heran kalau semua foto dari semester 1 sampai 7 terpisah di masing-masing folder. Alhamdulillah, semua masih tersusun rapi. Mulai dari foto berkebun, foto saat eksplorasi di lab, bahkan sampai foto-foto selfie narsis bersama teman-teman kampus. Aku hanya mampu mengulum senyum saat melihat foto-foto itu. Sungguh, tak ada yang lebih indah selain senyum ceria orang-orang terdekat.

Lembaran Berdebu

Beberapa hari ini cuaca di Banda Aceh begitu labil. Angin kencang menyambar jendela kamarku yang tak bertirai. Aku masih disini, di kamar sederhana berukuran persegi sama sisi. Sejurus mataku kearah tumpukan kertas di bawah meja belajar. Karena terlihat tidak enak dipandang, aku pun merapikannya.

Permukaan tumpukan itu berdebu. Aku bersihkan satu persatu. Ternyata ada banyak buku paduan dan brosur belajar ke luar negeri di tumpukan itu. Huf. Huuf. Wah iya, ini memang kumpulan informasi beasiswa yang dulu aku kumpulkan!, aku berseru sendiri di dalam hati. Ada brosur Fulbright, AAS (Australia Awards Scholarship), Monbukagakusho dari JASSO (Japan Student Services Organization), ESIT (Elit Study In Taiwan), LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), dan beberapa brosur universitas di Australia. Jangan tanya darimana brosur ini didapat. Yang aku ingat, ini semua aku dapatkan dari seminar pendidikan luar negeri dan dari perpustakaan mini tempat kursus TOEFL-ku. 

Brosur yang sempat berdebu
Aku terbiasa memisah buku-buku penting, buku yang sering di baca, novel bahkan tumpukan skripsi di kamarku. Jadi aku paham betul tumpukan informasi beasiswa itu memang sengaja aku pisahkan di bawah meja belajar. Karena meja belajarnya tidak ada kursi, jadi aku anggap meletakkannya di bawah meja lebih aman dan mudah di cari. Tapi seakan dimakan waktu, justru tumpukan kertas itu berdebu, tersembunyi, dan hampir lenyap di pelupuk mata.

Lembar demi lembar kubuka perlahan. Membaca setiap persyaratan dan daftar jurusan yang sesuai dengan bidangku. Tapi rasanya kok beda ya? Rasanya seperti tidak ada yang tidak mungkin. Ah, ngayal! aku kan bertoga saja belum. Agak gamang jika harus membayangkan impian ke luar negeri lagi.

Have Faith!

Tiba-tiba aku jadi teringat kegiatan kemarin. Saat aku dan teman-teman yang lain berkumpul dan berbagi cerita bersama kak Fairuz, kakak inspirasiku. Karena dulu kami hanya berkomunikasi via message facebook, aku ingin sekali bisa berjumpa dan mengenal lebih banyak tentangnya. Tapi takdir siapa yang tahu. Akhirnya takdir mempertemukan kami di Gerakan Turun Tangan. Dari beliau lah aku pernah tertarik mengikuti YLI (Young Leader for Indonesia) dan sempat melirik PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara).

Sore lalu, beliau bercerita bagaimana perjuangannya mendapatkan Beasiswa Aceh untuk melanjutkan sekolah di Massachusetts, US. Ternyata penuh liku dan pengorbanan. Banyak juga universitas yang menolaknya. Singkat cerita, karena ayah beliau -yang juga dosen dikampusku- dan orang-orang terdekat (termasuk pacarnya) selalu mendukung, akhirnya ia berhasil mendapatkan kesempatan ke Negeri Paman Sam beberapa bulan lagi.

Aku bersama Kak Fairuz
 Dalam penyampaiannya, kak Fairuz menekankan bahwa yang mengetahui arti kesuksesan sesungguhnya adalah kita sendiri, bukan orang lain. Bisa jadi kesuksesan orang lain bukanlah arti kesuksesan untuk diri kita.

Ah, pikiranku jadi melambung ke salah satu tokoh di Novel Rantau 1 Menara, Alif. Tentang kegigihannya menjalani hidup di jalannya sendiri. Karena usaha, kesabaran, akhirnya ia bisa mencapai cita-citanya, ke Amerika dan mendapatkan istri idaman. Ini juga persis seperi lagu Miley Cyrus tadi, “The struggles I’m facing. The chances I’m taking. Sometimes might knock me down but I’m not breaking. I may not know it but these are the moments that I’m gonna remember most. I just gotta keep going and I just gotta be strong. Just keep pushing on”. Kena banget!

Semua perjalanan itu punya tujuan, punya puncak, punya muara. Tapi masalahnya bisakah kita tetap keep faith? Aku kembali mengingat orang-orang terdekatku yang sudah dan akan berangkat ke luar negeri. Kalau ditanya tentang perjuangan, tentu mereka berjuang. Mereka juga pasti banyak berusaha, banyak bersabar dan fokus pada tujuan. Mereka berusaha menjadi Outstanding Person, going the extra miles!, kata Alif.

Melihat orang terdekat kita bisa menggapai apa yang dicita-citakannya, apa aku tidak punya kesempatan? Mungkin selama ini aku masuk ke dalam unlimited room sehingga tidak berlapang dada. Mungkin juga aku hanya panas sehari-dua hari kemudian dingin lagi selama sebulan. Wajar dong kalau jalanku selama ini tersendat dan tidak jelas?

Tapi benar jurus hidup “Man Saara ala darbi Washala“. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan. Aku harus kukuh dan harus tahu kemana tujuan akhir. Dan aku tidak sendiri. Ada Tuhan yang menjadi tempatku bertumpu. Ini bukan seberapa cepat aku sampai pada puncak atau muara, bukan seberapa besar yang ada di ujung jalan. Tapi seberapa besar rintangan yang mampu aku lalui dan seberapa jauh aku berjalan. It’s the climb. I just gotta keep going.

Coretan pagi ini
Dan aku harusnya menyadari bahwa going abroad bukanlah satu-satunya cara untuk belajar. Aku bisa belajar oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. 

Ah, sepertinya aku terlalu lama termenung di kamar ini. Hembusan angin semakin kencang, dan jendela kamar harus segera ditutup sebelum semua kertas di kamarku ini terbang seperti daun kering jatuh berserakan.  Semoga purnama malam nanti menjadi saksi bahwa mulai hari ini aku berikrar untuk selalu menjagai impian di dalam hati terdalam.

Kamis, 05 Juni 2014

Pesona Kota Sabang, begitu "WEH"!

“Ya ampuun. Udah hampir 4 tahun belum pernah ke Sabang?“. Saya jadi malu-malu tiap kali mendengar respon seperti ini.

Memang benar. Saya tidak pernah ke Sabang. Tiap kali ada ajakan kesana, pasti adaa saja halangan. Mulai dari ajakan kawan-kawan organisasi, sampai dengan ajakan kawan-kawan di kampus. Tetap saja tidak jadi pergi -_-

Hingga akhirnya saya dan 16 teman lain di Komunitas Turun Tangan diberikan kesempatan oleh-Nya berlibur bersama. Meski pergi berlibur di bulan yang sudah tua renta – yah, you know what I mean, dengan bantuan dana seadanya, akhirnya saya dapat pergi ke Sabang dan naik kapal. Iyeey! Haha



Pengalaman pertama naik kapal ternyata sangat mengesankan. You know what? Mabuk laut! Wah saya benar-benar menghadapi hamparan laut luas tanpa obat-anti-mabuk-perjalanan. Alhasil saya mual, hoyong dan pucat. Goncangan di kapal lambat benar-benar tidak nyaman! Saya pun memutuskan untuk tidur sejenak. Tidak berapa lama, akhirnya saya mulai stabil dan bisa melihat laut dengan tenang. Menghirup udara bebas sambil memanjakan pandangan mata ke arah laut biru. Inhale, exhale. huft

Kamis, 29 Mei 2014

Selamat Ulang Tahun, Ayah

Keluarga kami sejak dulu bukanlah keluarga “gaul” yang menggangap Hari Ulang Tahun adalah hari yang spesial dan perlu dirayakan besar-besaran. Tapi juga bukan keluarga yang terlalu fanatik dengan istilah “Hari Ulang Tahun”. Perayaan ulang tahun di keluarga kami hanya sebatas makan bersama dengan menu kesukaan. Not really a special day. We’d like to celebrate it with spending time together and going somewhere.

Masih teringat jelas di memori ini, ketika berumur 7 tahun akhirnya saya bisa merasakan bagaimana pesta ulang tahun. Dengan gaun jahitan berwarna perak, saya merasa sangat senang di hari itu. Teman-teman sepermainan (tetangga) dan teman-teman sekolah berdatangan sambil membawa kado. Mereka semua memakai gaun yang indah sambil menenteng kado masing-masing.

Tapi jujur saja, dulu saya masih sangat lugu. Merayakan ulang tahun itu hanya semata-mata ingin mendapatkan kado dari teman-teman. Hehe, asik ya, membayangkan masa kecil. Kita berpikir seperti tidak ada beban.

Nah pada akhirnya, 25 Mei yang lalu, ayah tercinta pun tiba giliran berulang tahun. Awalnya saya lupa dengan tanggal spesial itu. Tapi setelah adik saya, Dita, mengabari bahwa hari itu adalah hari spesial, saya pun kemudian segera mengabari ayah.

“Ayah tahu hari ini hari apa? Hari ini ulang tahun Ayah“, sambil cengengesan. haha
“Iya, Dita bilang seperti itu“ jawab ayah kalem.
(wah ini ayah santai aja ya. Gak ada yang spesial-spesialnya)
“Selamat ulang tahun ya yah. Panjang umur ayah, sehat juga“
“Iya, Amin, yang penting anak ayah semuanya sukses nanti" doa ayah.

Saya pun langsung terharu mendengar doa ayah ini. Karena meskipun ayah tidak terlalu menggangap hari itu adalah hari yang spesial. Tapi ayah mendoakan kami anak-anaknya agar sukses kedepan. Ya Rabb, semoga Engkau senantiasa menjaga kedua orang tuaku

Ayah, Sosok Orang Tua Yang Perhatian
Saya bersyukur karena ditakdirkan mempunyai seorang ayah yang (meskipun) hanya seorang guru. Ibu juga seperti itu. Jadi, selain mengajar di kelas, mereka masih mempunyai waktu yang cukup buat kami anak-anaknya. Bayangkan jika orang tua saya adalah orang tua karir yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor, mana mungkin saya tahu cara berwudhu yang benar, bagaimana saya harus mengerti melihat jam, mengerti tajwid saat mengaji. Saya bersyukur karena orang tua menjadi guru terbaik dalam hidup. Yah, saya benar-benar bersyukur.

Ayah bukan lah sosok sangar yang ditakuti oleh orang banyak. Ayah terbiasa bergaul dan ramah dengan orang lain. Hal ini terlihat karena ayah punya relasi yang bagus dengna orang lain.Perhatian yang ia berikan tercurah pada anak-anaknya. Terutama saya, sebagai anak pertama. Saya banyak diajari oleh ayah tentang agama, dan wawasan umum selama dirumah. Meskipun Matematika bukanlah menjadi bidang andalan ayah, tapi saya sangat bisa mengerti perkalian dan mengenal cara baca jam analog.

Memang Ayah dan Ibu dulu tidak terlalu banyak mengajari saya tentang ini dan itu. Saya lebih senang belajar otodidak dan segera menanyakannya pada ayah dan ibu jika ada hal yang tidak saya mengerti. Lambat laun kemandirian saya pun tumbuh dari masa-masa ini.

Tidak Merokok Dan Senang Dengan Kebersihan
Ayah pernah bilang kalau Ayah bukan salah satu anak muda “gaul“ di masa mudanya. Istilah “gaul“ identik dengan perokok. Lah Ayah? Sampai sekarang ayah bukan perokok. Ini lah yang saya banggakan dari seorang Ayah.Beliau mampu memberikan contoh yang baik hingga tua pada anak-anaknya.
Ayah Saat Mengajar

dan Ibu Saat Mengajar
Pekerjaan rumah pada dasarnya sangat wajar jika dilakukan oleh perempuan. Tapi di keluarga kami, Ayah adalah satu-satu orang yang sangat responsive terhadap kebersihan. Dalam satu hari, setiap pagi dan sore jika tidak ada jadwal mengajar, ayah sering membersihkan rumah. Menyapu, menyiram bunga, dsb. Ini pekerjaan yag biasa dikerjakaan perempuan. Tapi ayah dan ibu seperti bisa membagi pekerjaan rumah. Sebaliknya, Ibu selalu dan hanya mengerti tentang seluk beluk di dapur. Masalah bikin kue, es krim, mie, dsb, wah itu jagonya ibu deh! hehe

Banyaknya peralatan dan perkakas pecah belah di rumah membuat ayah selalu overprotecting menjaganya. Ayah rajin membersihkannya dan sangat gamang tiap kali banyak sepupu dan keponakan yang berlari-lari dirumah. Saya sendiri jadi was-was. Huft.

Selamat Ulang Tahun , Yah
Bahkan ketika tulisan ini ditulis pun, ayah tidak pernah membacanya. Ya, ayah bukanlah orang yang melek teknologi. Hingga saat tulisan ini dipublish pun, saya masih memberitahukan pada ayah bagaiman membuka keumala-goldenwings.blogspot.com. hehe

Tapi tulisan ini tidak harus dibaca, saya ikhlas menuliskannya.


Perasaan sayang, gembira, dan respek pada orang tua jauh dari sekedar menulis kata-kata sederhana di blog ini. Meskipun demikian, saya merasa lega, karena meskipun jarak jauh, saya bisa berbuat sesuatu meski hanya dengan kata-kata.

Selamat hari lahir Yah, semoga keinginan Ayah agar anak-anaknya sukses terkabul. Panjang umur dan sehat selalu. Toga yang akan aku pakai tidak lama lagi kau lihat. Membanggakanmu sekarang dan masa depan. Amin


Jumat, 16 Mei 2014

Nasibku Malang, Ginjalku Lelang

Sugiyanto adalah satu dari sekian orang dinegeri ini yang terjepit dalam gemelut ekonomi sehingga bergantung pada keberuntungan menjual organ vital. Mendapatkan rupiah berpuluh juta dinegeri ini ternyata memutar pikiran dan perasaan masyarakat ekonomi kebawah untuk menjual salah satu ginjalnya. Suginyato, menjadi sosok yang kian dilirik media semenjak kasusnya menyinggung ekonomi dan pendidikan di negeri Zamrud Khatulistiwa.

Kenekatan menjual ginjal adalah jalan keluar terakhir untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan oleh pihak Pasantren Al Asyiriah, Bogor. Biaya yang harus ia bayar untuk membayar ijazah SMP dan SMA anaknya adalah 17 juta ditambah biaya adminstrasi Rp 20.000,-/hari. Sungguh biaya yang sangat mahal, terutama untuk seorang ayah yang hanya berprofesi sebagai tukang jahit.


Mungkin kita semua juga tidak asing lagi dengan berita yang sempat melejit di pertengahan tahun lalu ini (Juni 2013). Kasus yang dengan sangat cepat dibeberkan oleh media ini diawali persoalan yang cukup simpel, “ijazah”. Rasanya kok ada sih kasus seperti ini terjadi di Negeri Meutuah)* kita? Negeri yang digadang-gadang dengan semboyan Gemah Ripah Loh Jinawi)*. Negeri yang punya sumber daya alam yang sungguh luar biasa melimpah.

Kasus penjualan ginjal ini mulai “menyenggol” saya lagi ketika mendengar update berita terbaru disalah satu stasiun televisi swasta (16/5/2014). Shara Meilanda Ayu, yang akrab disapa Ayu hilang dari rumah selama 1 bulan. Ada apa gerangan?  Pasalnya Ayu hilang bersama pacarnya dan tidak mengikuti kuliah beberapa kali. Ini sungguh mengecewakan ayahnya yang berjuang hingga rela hampir menjual ginjal berharganya.


Ayu mendapatkan sorotan dari media dan berhasil menggugah Moh. Nuh, Menteri Pendidikan RI, untuk membantu keluarga malang ini. Diterima sebagai salah satu mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta meski nilai tidak mencapai standar merupakan hal yang sangat disyukuri oleh Sugiyanto. Tapi kini ia hanya bisa menanggung malu karena merasa masih punya tanggung jawab moral pada Pak Menteri. Anak yang dulunya membuatnya rela berpanas-panasan mencari pembeli ginjal akhirnya hilang bersama pacar yang tidak jelas. Niat ikhlas yang ia abadikan di hati akhirnya sirna semenjak anaknya mulai menunjukkan keinginan tidak ingin melanjutkan sekolah.

Jual Ginjal adalah Life Style?
 Ya, bisa jadi. Karena pada dasarnya menjual ginjal terjadi akibat desakan tuntutan ekonomi. Sehingga masyarakat mencari jalan pintas untuk mendapatkan solusi permasalahan hidup. Menjual ginjal sebenarnya tidak hanya terjadi masyarakat kalangan bawah maupun menengah ke bawah. Ini bisa juga terjadi pada masyarakat kalangan atas yang prinsip “punya segalanya”. Tapi melihat tuntutan ekonomi dan zaman modern sekarang ini, masyarakat menjual ginjalnya karena life style yang penuh dengan gengsi semu. Demi membeli tas bermerek, baju mahal, dan perhiasan, tentu saja tidak menutup kemungkinan menjual ginjal untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Untungnya Indonesia masih tergolong negara yang masyarakatnya tidak terlalu nekat dibanding negara-negara lain. Persentasenya bisa dikira jika menjual ginjal dikarenakan faktor ekonomi. Meski merupakan organ yang paling vital, ternyata banyak orang yang mengorbankannya. Lalu, patutkah ini dijadikan suatu life style di negara kita? Think again.


Saya kira, banyak orang yang menjadikan ginjal sebagai pelarian karena mereka tidak tahu persis apa fungsi penting dari sebuah ginjal. Meskipun kita semua memiliki dua ginjal, rasanya akan berbeda hanya hidup dengan satu ginjal. Two is better than one.

Faktor tendensi ekonomi dan ketidaktahuan dalam masyarakat adalah penyebab mengapa seseorang memutuskan untuk menjual ginjal. Menjual ginjal dengan alasan faktor ekonomi jelas hanya jalan keluar jangka pendek. Beda halnya jika ginjal dibutuhkan untuk transplantasi untuk mereka yang membutuhkan.

Apa Rasanya Hidup dengan Satu Ginjal?
Setiap manusia memiliki 2 ginjal, dikanan dan dikiri tulang belakang. Sebagai organ vital ekskresi, ginjal berfungsi penting untuk menyeimbangkan cairan dan zat. Jika ginjal sudah tidak berfungsi normal dan dalam keadaan kronis stadium akhir, maka diperlukan transplantasi ginjal sehingga nantinya dapat meningkatkan kualitas hidup.

Hidup dengan satu ginjal, tentu ada yang berbeda. Jika seorang pendonor ginjal tidak sehat, maka sudah bisa dipastikan ginjalnya juga tidak sehat sehingga hidup dengan satu ginjal bisa membuat kesehatannya semakin memburuk. Seorang pendonor harus dipastikan kesehatannya terlebih dahulu jauh dari penyakit hipertensi dan diabetes.


Memang ada sebagian orang yang bisa hidup normal dengan satu ginjal. Tapi tetap saja ia harus bisa menjaga kesehatannya dengan baik karena jika terlalu lelah dan daya tahan tubuh melemah, justru ginjal tersebut akan ‘memberontak“. Jadi, sebelum sakit, mari kita jaga ginjal berharga ini dengan baik. Menjaga kadar gula, darah dan tentu saja menghindari rokok.

Relasi Kesehatan, Ekonomi dan Pendidikan
Apa benang merah yang bisa kita ambil dari semua kasus penjualan ginjal? Kasus Sugiyanto yang seakan-akan dipersulit hanya karena ijazah mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan. Sembari demikian, ini juga membuktikan bahwa ekonomi masyarakat tidak lah diatas rata-rata. Dan akhirnya memilih jalan  mengorbankan kesehatan demi sejumlah rupiah. Sungguh miris.

Setidaknya saya juga bisa menarik kesimpulan bahwa negara berperan penting dalam masalah ini. Negara juga harus berperan untuk memajukan demokrasi ekonomi. Jangan sampai alasan ekonomi dijadikan embel-embel untuk mengorbankan kesehatan dan memihak pada pendidikan yang serba riweuh)*.

Sungguh sangat disayangkan jika terlalu banyak anak seperti Ayu yang tidak bersyukur sudah diberikan ayah yang begitu bersemangat menyekolahkan anaknya, rela mengorbankan ginjal berharganya dan bahkan sudah mendapatkan perhatian dari kementerian pendidikan. Kecewa rasanya kok ada sih anak yang malah memilih lari ke pacarnya dan mengabaikan tanggung jawab moral pada ayahnya? Dapat beasiswa dari Pak Menteri pula untuk masuk kuliah.

Tapi ayah tetap lah ayah.

“Bapak rela jika kamu tidak mau kuliah lagi. Mungkin kamu malas untuk berpikir dengan kuliah. Bapak hanya ingin membahagiakan kamu. Jika kamu lebih bahagia dengan tidak kuliah, Bapak rela. Pulang lah, nak“. Ujar Sugiyanto, dengan nada tegar di stasiun televisi malam itu.

Tak lama kemudian Ayu menelepon ayahnya secara live. Ternyata ia sudah pulang kerumah saat tahu ayahnya diwawancarai. Ia mengaku malu jika ayahnya harus membeberan semuanya di media. Sangat disayangkan, niat ikhlas orang tua tidak dihargai pada anaknya.

Saya banyak belajar dari kasus ini. Hingga menggerakkan jari-jari saya untuk beropini lewat tulisan. Semoga kita semua bisa belajar dari pengalaman orang lain. Terutama hikmah bagaimana menghargai usaha dan niat ikhlas dari orang tua. Sungguh, orang tua memberikan terbaik untuk anaknya meski harus mengorbankan nyawa [].



Note :
Gemah Ripah Loh Jinawi : Tentram dan makmur serta subur tanahnya
Meutuah : (Bahasa Aceh) : Baik, damai, ten
Riweuh : (Bahasa Sunda), Ribet, Rumit, Repot

Selasa, 13 Mei 2014

Layang-layang dan Benangnya

Aku tidak pernah tahu makna dari sebuah layang-layang. Ya, yang aku tahu ia hanya sebuah permainan yang sering dimainkan adikku saat masih kecil. Tidak lebih. Pada saat itu adikku sibuk membuat layangan sederhana yang terbuat dari plastik dan lidi. Setelah selesai ia berlari sambil mencari angin yang tepat agar layang-layangnya bisa terbang tinggi. Hanya sebatas itu. Layang-layang tidak lah begitu spesial untukku.

Hingga akhirnya memori membawaku untuk berpikir lebih dalam tentang makna sebuah layang-layang. Pikiran tentang layang-layang membuatku melayang semenjak ibu menjelaskan mengapa perempuan harus menjaga hati dan kehormatannya. Lalu sepintas aku merasa malu. Aku mungkin belum sepenuhnya menjadi apa yang ia harapkan.

Sebuah layang-layang pastilah mempunyai benang yang berkualitas. Sangat mustahil jika layang-layang dapat terbang tinggi jika benangnya tidak kuat. Layang-layang membutuhkan benang untuk dapat terbang, tanpa benang ia hanya akan menjadi barang yang tak berguna dan menjadi sampah.


Benang berkualitas tentu saja berharga lebih mahal dari benang biasa, tak akan kalah meski diadu dengan benang yang lain. Tak ada benang lain yang memutuskannya. Layang-layang dan benang adalah sepasang jodoh yang dari sana telah ditakdirkan berpasangan.

Tapi ada juga layang-layang yang hanya mampu terbang rendah, benangnya tak cukup bagus untuk menahannya terbang lebih tinggi. Ada pula layang-layang yang kemudian putus, tak mampu benang menahan layang-layang itu untuk tetap terikat, kalah oleh kuatnya angin.

Ada juga yang bermain adu layangan, saling bergesekan benang dengan benang yang lain. Akhirnya lagi-lagi salah satunya putus, benang dan layang-layang terpisah. Layang-layang yang kalah tak akan lagi berharga, benang yang kalah tak akan lagi dipakai. Disimpan, menjadi usang, dan mungkin saja dibuang.

Namun, ada pula layang-layang yang mampu terbang tinggi. Benang mampu menjaganya terbang dengan tenang. Angin yang menerpa tidak lah seberapa selama layang-layang masih bisa dikendalikan dan benang masih bisa dipertahankan. Layang-layang ini lah yang tentu saja diharapkan.


Laki-laki adalah layang-layang dan perempuan adalah benang. Tanpa perempuan, laki-laki tak akan menjadi apa-apa. Dibalik ketinggian (kesuksesan) laki-laki, ada perempuan dibaliknya. Oleh karena itu, bagi perempuan, jadilah seperti benang yang berkualitas terbaik. Buatlah layang-layang kelak terbang setinggi-tingginya, karena setinggi apapun ia terbang, ia selalu terikat dan akan bergantung dengan perempuan. Jagalah layang-layang agar dia tidak putus dan hilang arah, ingatlah bahwa layang-layang selalu ingin terbang tinggi. Perempuan memang mengikat, tapi ia senantiasa tahu manakala harus bersikap (memanjang dan memendekkan sulurnya).

Begitulah analogi dari sebuah layang-layang. Mengagumkan bukan? Sungguh setiap hal yang ada didunia ini punya makna. Tergantung kita menilainya. Tergantung bagaimana kita bisa belajar dari setiap celah kehidupan ini. Baik benang, layang-layang, dan angin adalah tiga hal yang saling berhubungan. 

Ini bukan hanya dari cerita Ibunda, tapi juga dari tiap kata-kata yang pernah kubaca. Aku ingin menjadi sebaik-baiknya benang untuk layang-layangku. Menjadi perempuan yang kuat, sabar dan selalu bisa memotivasi sang terkasih mencapai kesuksesannya. Lalu kau mau jadi benang yang seperti apa? Layang-layang yang seperti apa?





Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...