Kamis, 21 Agustus 2014

Memetik Buah di Negeri Meutuah

Pemilihan Umum (pemilu) yang sering disebut sebagai “Pesta Demokrasi“ merupakan suatu sarana untuk menentukan pemimpin baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pemerintahan tingkat pusat. Layaknya seperti sebuah pesta, pemilu dilaksanakan secara meriah oleh masyarakat yang ditandai dengan banyaknya baliho yang terpampang dijalan, iklan politik, dan bahkan keterlibatan media yang mengekspos tiap menit berita terkait pemilu. Pada dasarnya, pemilu di Indonesia yang menganut sistem demokrasi ini adalah ikon dari gerak supremasi kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpin secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
 9 Juli 2014 menjadi hari penentuan nasib bangsa Indonsesia lima tahun yang akan datang. Pemilihan presiden (pilpres) kini benar-benar memberikan angin segar sekaligus hawa panas pada masyarakat. Bagaimana tidak? Pelaksanaan pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan kandidat. Dampak politik negeri yang dipengaruhi oleh kedua pasangan kandidat ini sungguh luar biasa. Masing-masing tim sukses berlomba-lomba mencari dukungan dan mencari strategi jitu menarik hati pemilih. Masyarakat kini dipengaruhi oleh visi dan misi dua pasangan kandidat, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla.


Namun ada yang salah dalam proses pilpres kali ini. Pro-kontra atas calon yang diusung oleh partai politik (parpol), baik Nasional maupun lokal di Aceh semakin memberikan pengaruh yang berlebihan sehingga timbul persaingan yang kian tak sehat diantara dua calon terpilih. Masing-masing pendukung membela habis-habisan calon dukungannya tanpa memperhatikan etika sosial yang berlaku.  Tajassus (mencari kesalahan orang lain) adalah sifat yang paling sering muncul sekarang ini melalui berbagai media yang ada. Baik media sosial seperti facebooktwitter, media cetak, maupun media elektronik seperti televisi. Masing-masing pendukung merasa paling benar, paling kuat dan paling bisa mengubah negeri ini menjadi lebih baik. Tapi sayangnya, disadari atau tidak, praktik kampanye yang mereka lakukan adalah bentuk kampanye negatif atau biasa disebut dengan Black Campaign. Ini wajar saja terjadi pada media, terutama media sosial yang notabene adalah alternatif kampanye yang paling mudah dan paling bebas. Tak ayal banyak pemilih yang terpengaruh fitnah dari media sehingga pemilih kebingungan menentukan capres andalannya. Ini sungguh sangat disayangkan karena mengingat Indonesia adalah bangsa yang bermartabat.
Luka Lama Rakyat Aceh
Kita beralih pada nasib Nanggroe Endatu, Aceh. Masih teringat jelas di benak rakyat Aceh tentang kisah pilu tragedi berdarah DOM. Sejak tahun 1989, digelar sebuah operasi yang dikenal dengan sebutan Daerah Operasi Militer (DOM). Sejak adanya DOM, wilayah pantai timur dan utara Aceh menjadi ladang pembantaian. Bukan hanya anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjadi korban, masyarakat sipil juga menjadi korban. Tercatat bahwa 781 orang meninggal karena kekerasan, 368 dianiaya, 163 orang hilang, 3000 wanita menjadi janda karena suaminya dibunuh atau dihilangkan secara paksa, 15.000-20.000 anak-anak menjadi yatim, 102 bangunan rusak (kampus dan sekolah) dam 102 kasus perkosaan. Ini jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak mudah dilupakan oleh rakyat Aceh. Simpati pada pemerintahan pusat berubah menjadi antipati akibat kekecewaan akan kekakuan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menyahuti tuntutan penegakan HAM dan hukum terhadap pelaku kekerasan DOM. Masyakrakat Aceh semakin yakin bahwa pemerintah sama sekali tidak serius untuk mengembalikan harkat dan martabat Aceh yang terinjak-injak. Janji hanya tinggal janji, terbukti saat kekerasaan kembali terjadi pada 3 Mei 1999 seperti tragedi Simpang KKA Dewantara yang menewaskan 65 orang dan 125 orang terluka. Peristiwa Rumoh Geudong Pidie dan pembantaian Teungku Bantakiah yang diistilahkan dengan “disekolahkan” di Beutong, Aceh Barat (waktu itu), serta tragedi kecil lain yang tidak tercatat.
Rakyat Aceh yang dilukai hatinya pada masa itu membuat Aceh berhati-hati memilih calon presiden yang akan datang. Sejak masa munculnya GAM pada masa pemerintahan Soeharto dan berganti dengan Presiden Habibie, Megawati, Abduraahman Wahid keinginan memulihkan dan meningkatkan harkat dan martabat Aceh belum terwujud. Hal ini baru terwujud pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  dengan disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang itu pun setelah diperjuangkan dengan susah payah oleh segenap komponen rakyat Aceh yang dimotori oleh Forbes wakil rakyat Aceh di DPR/MPR sebagai hasil perundingan antara Pemerintah RI dan GAM di Swedia.
Misi Perdamaian Aceh
Pada tanggal 26 Desember 2004 Aceh kembali diuji dengan bencana gempa bumi 8,9 SR. kemudian disusul dengan Tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan beberapa daerah di Aceh. Pasca bencana Tsunami menjadi momen yang tepat bagi pemerintah pusat mengajak GAM agar mau berunding demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ajakan ini  pada mulanya tidak mendapat respon dari GAM karena mereka tetap alergi dengan NKRI, tuntutan mereka adalah tetap merdeka. Meskipun demikian, perundingan antara dua belah pihak harus tetap dilakukan karena dunia internasional yang menaruh perhatian besar terhadap musibah Aceh membutuhkan keamanan saat menyalurkan bantuan. Kesamaan persepsi inilah yang berhasil dibangun oleh orang-orang yang komit dengan perdamaian Aceh.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, Memorandum of Understanding (MoU) resmi ditandatangani setelah butir-butir perundingan disepakati oleh kedua pihak. Ada empat tujuan pokok dalam MoU pemerintah RI dan GAM. Pertama, penyelesaian masalah Aceh harus diselenggarakan dengan jalan damai. Kedua, penyelesaian seluruh masalah Aceh harus secara menyeluruh, tidak parsial. Ketiga, harus ada kesinambungan dari kesepakatan dan aksi konkret atas kesepakatan yang dicapai. Keempat, penyelesaian masalah Aceh harus secara martabat, tidak ada yang kehilangan muka.
Penandatangan MoU Helsinki disambut gegap gempita oleh rakyat Aceh. Syarat mutlak perundingan disetujui para pihak yaitu pemerintah pusat akan memenuhi segala tuntutan Aceh kecuali merdeka. Inilah yang pernah diungkapkan oleh Amin Rais, “Indonesia tanpa Aceh bukanlah Indonesia lagi”. Pada mulanya isi perundingan MoU ditolak oleh sebagian orang penting Jakarta. Namun, Jusuf Kalla menganggap penting poin-poin MoU Helsinki wajib diimplementasikan 100% demi masa depan Aceh yang bermatabat dalam kerangka NKRI.
Nilai Tawar Aceh pada Pilpres 2014
Teuku Harist Muzani, seorang Pegiat Pemilu dan Demokrasi beropini pada Serambi Indonesia (Kamis, 3 Juli 2014) ada tiga kepentingan besar Aceh terkait pilpres 2014 kali ini, yaitu merealisasikan UUPA yang belum tuntas pada masa kepemimpinan SBY, misal, PP tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi Aceh, PP Kewenangan Pemerintah Aceh yang Bersifat Nasional, dan tentang Identitas Aceh (Bendera dan Lambang). Ketiga hal tersebut merupakan kepentingan politis bagi Aceh terkait keberlangsungan perdamaian menjelang 10 tahun perjanjian Helsinki.
Meski suara dari Aceh tidak signifikan bagi siapapun capres yang menang, tetapi berbeda dengan Aceh. Aceh sangat berkepentingan besar pada siapapun yang akan menjadi presiden karena siapapun yang terpilih nanti harus tetap mendukung implementasi UUPA. Rakyat Aceh tak ingin lagi ditipu janji-janji yang memabukkan. Cooling Down demi Cooling Down terus berlanjut pada saat-saat akhir pemerintahan SBY. Hal ini menyebabkan Zaini Abdullah kesal dan member ultimatum agar diakhir pemerintahan SBY poin-poin yang belum tuntas tersebut harus telah disahkan sebelum SBY keluar istana. Namun, hal tersebut sepertinya tidak terealisasi oleh SBY. Oleh sebab itu, Aceh sangat berkepentingan pada hasil pilpres yang akan memimpin Indonesia agar merealisasikan keberlangsungan perdamaian Aceh dengan mengimplementasikan UUPA yang belum disahkan.
Memilih Pemimpin Ideal dengan Pertimbangan Rasional
            Munculnya dua pasangan kandidat presiden yang berlatar partai yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Mendapat perhatian besar rakyat Indonesia termasuk Aceh. Kedua pasangan banyak sisi yang perlu dicermati oleh pemilih untuk menentukan pilihannya yang tepat, baik itu pemikiran, kepribadian, latar belakang atau rekam jejak pengalaman masa lalu. Tak heran, banyak masyarakat “galau“ menentukan pilihan. Prabowo mempunyai catatan kelam dalam hal pelanggaran HAM, Jokowi diterpa isu keagamaan dan tindak tuntas menyelesaikan tugas sebagai pemimpin di Solo maupun di Jakarta. Hatta Rajassa dipandang sebagai tokoh yang setengah hati terhadap Aceh yang mendukung tuntutan hak-hak politis namun tidak di sisi hak ekonomis. Sedangkan Jusuf Kalla sebagai tokoh yang berjasa mewujudkan perdamaian Aceh dianggap labil dalam menentukan sikap mana sosok yang patut memimpin Indonesia pada periode yang akan datang.
Keraguan rakyat Aceh berkembang terhadap Jokowi-JK karena pmerintahannya nanti akan dikendali oleh Megawati yang kurang mendukung poin-poin UUPA. Sedangkan keberhasilan Prabowo-Hatta pada pilpres 2014 yang akan datang juga mengecutkan sebagian rakyat Aceh dengan latar belakangnya. Keberagamanan menentukan pilihan tergambar pula pada pucuk pimpinan Aceh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf.
            Terlepas dari siapapun yang berhasil menjadi presiden, yang dibutuhkan oleh Aceh adalah pemimpin yang mampu memberi cahaya baru untuk Aceh. Perlu digaris bawahi bahwa Aceh pernah berada di masa kritis akibat konflik berdarah di masa kepemimpinan masa lalu. Oleh karena itu, rakyat Aceh harus bisa mempertimbangankannya dengan cerdas, termasuk pertimbangan akan nilai tawar dan strategi politik kedepan. Masa lalu memang tidak bisa diperbaiki, tapi langkah yang kita ambil hari ini adalah penentuan untuk nasib yang akan datang. Harus disadari rekam jejak figur dan arah kebijakan partai masih memiliki kemungkinan untuk berubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Pada masyarakat Aceh perlu ditanamkan bahwa mengenang masa lalu yang kelam tidak akan meraih masa depan yang gemilang. Mencapai masa depan yang cerah bukanlah sebuah hadiah, tetapi hasil perjuangan berlumur darah.
Pegangan kita dalam menentukan kriteria pemimpin ideal pemimpin telah diungkapkan oleh Rasulullah SAW, “Tiada seorang yang diamati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya Surga“ (HR. Muslim). Pemimpin haruslah memiliki kredibilitas dan kejujuran. Dan kejujuran ini harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan atau keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya.
          Perlu kita apresiasi atas terwujudnya MoU Helsinki yang telah mendamaikan pihak pemerintah RI dan GAM. Terkait hadits diatas, UUPA yang telah menjadi kesepakatan itu hendaknya dilaksanakan oleh pemimpin terpilih sehingga tak ada lagi luka yang kembali terkoyak. Pemimpin yang terpilih nanti sangat diharapkan mempunyai komitmen yang jelas terhadap kepentingan Aceh.
            Kini rakyat Indonesia, rakyat Aceh khususnya hanya bisa memberikan doa dan harapan baik (positif) terhadap pemimpin masa depan. Semoga harapan ini menjadi pegangan positif yang membawa pengaruh konstruktif untuk perbaikan bangsa dan negara. Rakyat Aceh membutuhkan perdamaian yang berkelanjutan sehingga timbul sebuah kesejahteraan. Kepada pemimpin nanti diharapkan tidak hanya sekedar janji. NKRI adalah harga mati pemerintah pusat tapi UUPA adalah harga mati pemerintah Aceh. Rakyat Aceh berharap akan memetik buah di Nanggroe Meutuah, buah hasil implementasi penuh UUPA.

NB :
*Tulisan ini pernah dikirim dalam rangka mengikuti perlombaan artikel Pilpres 2014 oleh PWI  pada 11 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...