Sabtu, 20 Desember 2014

Cerita dibalik Indrapuri


Pada masa kesultanan Sultan Ali Mughayat Syah, diawal masa pemerintahan kesultanan, Aceh Besar berasal dari tiga daerah bekas kekuasaan kerajaan hindu yaitu Indrapuri, Indrapatra, dan Indrapurwa yang kemudian dikenal dengan istilah Aceh Lhe Sagoe. Sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam Aceh Lhe Sagoe, Indrapuri menjadi daerah yang tidak hanya menarik dalam segi sejarah, tapi juga disetiap lini kehidupan didalamnya.

Indrapuri adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang memproduksi padi terbesar setelah Kecamatan Montasik dan Kecamatan Seulimum. Hasil produksi padi di Kecamatan Indrapuri pada tahun 2012 adalah 28.188 ton (BPS). Hasil yang sangat fantastis, bukan? Ditambah lagi, menurut data dari Badan Ketahanan Pangan Aceh tahun 2011 menunjukkan bahwa Aceh mampu mencapai surplus beras hingga 497.457 ton. Kecamatan Indrapuri menjadi daerah yang memberikan kontribusi dalam hal produksi beras di Aceh.
Sekelumit cerita inspirasi muncul dari sebuah perkampungan kecil di Indrapuri. Daerah yang terkenal dengan hamparan sawah hijau ini ternyata menyimpan nilai kehidupan yang tak banyak diketahui orang. Dibalik panorama beludru padi hijau yang indah, banyak raut wajah berpeluh yang sedang berjuang hidup demi sesuap nasi. Aku, seorang mahasiswa pertanian merasa beruntung karena menemukan the real life dari tiap canda tawa dan kesedihan mereka, para petani padi.

Kata orang, skripsi memberikan “ruh” yang berbeda disetiap prosesnya. Memang benar. Skripsi hanyalah secuil dari tantangan besar yang akan muncul dimasa depan. Mengapa? Karena skripsi sebenarnya menyimpan pesan moral yang luar biasa jika prosesnya benar-benar dinikmati. Selama lebih dari satu bulan, akhirnya aku menyelesaikan tahap pengumpulan data primer disana. Penelitian akhir yang menguras waktu, biaya, dan tenaga ini memberiku pengalaman yang sangat berkesan.

Terdapat tiga kampung yang menjadi daerah penelitian. Kampung Cureh, Kampung Cot Kareung dan Kampung Mureu Bueng Ue. Kampung tersebut adalah kampung yang dinobatkan menjadi kampung dengan program Demapan (Desa Mandiri Pangan) oleh Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan provinsi. Mayoritas penduduk di daerah tersebut bisa dikatakan masih tergolong miskin.

Banyak sekali lika-liku berpeluh lelah ketika menjelajahi kampung-kampung ini. Proses pertama yang harus aku lalui sebelum berani memasuki perkampungan adalah mempersiapkan berkas seperti surat keterangan penelitian, kuesioner dan note book. Persiapan yang tak kalah pentingnya adalah persiapan finansial. Tentu saja dengan jarak daerah penelitian yang lumayan jauh dari Banda Aceh, aku tetap harus mempertimbangkan isi dompet. Untungnya aku selalu mencatat semua pengeluaran sehingga segala kebutuhan bisa aku pertimbangkan dengan baik.


            Kampung Cureh adalah kampung pertama yang aku jelajahi. Banyak kendala yang aku hadapi selama dilapangan. Mulai dari faktor bahasa Acehku yang masih sangat kurang, sampai ke permasalahan waktu luang dari responden sendiri. Walau bagaimanapun, Indrapuri sedang memasuki masa tanam. Oleh karena itu masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di sawah. Waktu luang hanya ada pada sore hingga malam hari. Faktor ini keterbatasan waktu wawancara ini lah yang membuatku berulang kali bolak-balik untuk mengumpulkan data.
            Hal yang sama juga aku lakukan di kampung-kampung selanjutnya, yaitu Kampung Cot Kareung dan Kampung Mureu Bueng Ue. Di Kampung Cot Kareung aku terpaksa menginap selama 2 malam di rumah pak sekdes. Istri pak sekdes adalah ketua Demapan sehingga aku lebih mudah berinteraksi. Sedangkan penelitian di Kampung Mureu Bueng Ue adalah proses yang paling cepat. Proses wawancara hanya berjalan 2 jam dan selesai.
Lalu apa yang aku teliti di kampung tersebut? Ketahanan pangan rumah tangga merupakan tema dari penelitianku. Tema ini bukan saran dari teman ataupun dosen pembimbing sekalipun, melainkan tema yang memang aku minati sejak dulu. Aku memilih tema tersebut karena ketahanan pangan masih menjadi permasalahan pembangunan nasional.

Ketahanan pangan rumah tangga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran. Proporsi pengeluaran pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga menjadi indikator apakah suatu rumah tangga sudah tahan pangan atau belum. Jika suatu rumah tangga mempunyai proporsi pengeluaran pangan yang lebih besar dibanding pengeluaran non pangan, maka rumah tangga tersebut bisa dikatakan tidak atau kurang sejahtera, dalam kata lain tidak tahan pangan. Pangan tidak hanya diidentikkan dengan ketersedian beras, tapi juga didukung oleh ketersediaan pangan lain seperti holtikultura, lauk pauk dsb. Oleh karena itu, aku meneliti, dan menggali informasi secara langsung dari masyarakat disana baik dalam hal pendapatan, pengeluaran, bahkan juga informasi yang berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat.

            Untuk mendapatkan informasi utama dan pendukung penelitian ternyata gampang-gampang-susah. Pada awalnya kita harus paham betul tentang kultur masyarakat pedesaan. Aku menjadi lebih berhati-hati dalam berpenampilan dan bertutur kata. Mau tidak mau aku harus lebih sabar ketika berinteraksi dengan masyarakat Aceh Besar yang notabene nya berwatak lebih kasar. Tidak mudah sebenarnya. Apalagi ketika aku pulang dan pergi sendiri  memasuki kampung orang Indrapuri. Bayangkan saja, ketika kamu masuk ke daerah baru, puluhan mata akan memandangmu dari ujung kaki ke ujung kepala!
            Sungguh miris ketika aku bisa menyaksikan langsung disetiap sela kehidupan  petani disana. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja susah, apalagi harus memenuhi kebutuhan non pangan mereka. Seorang janda miskin yang sudah ditinggal suami sejak anaknya masih beberapa bulan dikandungan harus menanggung beratnya hidup. Begitu menyesakkan dada, ketika seorang ibu haya mampu memberikan air yang dicampurkan gula setiap harinya untuk menggantikan kebutuhan susu. Buah-buahan pun tidak pernah dimakan lagi dengan alasan “han sep peng kamoe meubloe buah“ (tiak cukup uang kami untuk beli buah). Bahkan ada ibu tua yang sudah terbiasa mengkonsumsi minyak goreng sisa untuk menjadi minyak gorengnya sehari-hari ketika memasak.

            Akhirnya aku berhasil menyelesaikan tahap ini selama kurang lebih 1,5 bulan. Bersyukur sekali masih diberikan kesehatan dan kesempatan berkeliling ke daerah yang sama sekali tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Sawah yang mulai terlihat hijau dengan gunung dan langit yang biru seperti penghapus lelah tiap kali melakukan perjalan dari Banda Aceh ke Indrapuri maupun sebaliknya. Meskipun aku adalah seorang mahasiswa pertanian, tapi pengalaman berinteraksi langsung dengan petani masih menjadi hal yang asing bagiku. Dari pengalaman inilah aku bisa belajar banyak, terutama pelajaran tentang hidup. Aku bisa melihat langsung kehidupan keluarga petani yang sangat memprihatinkan, tentang cara bergaul dengan mereka, dan bahkan tentang makna kerja keras sesungguhnya. 
      
            Rasa syukurlah yang seharusnya kita miliki sebagai manusia. Segala kemudahan yang kita dapatkan selama ini jangan sampai membuat kita lupa diri. Masih banyak orang diluar sana yang sangat kekurangan secara ekonomi. Meskipun demikian, aku yakin orang kampung tidak kekurangan esensi dari  kebahagian. Meskipun secara materi mereka kekurangan, tapi mereka masih bisa tersenyum ikhlas layaknya seseorang yang tak pernah kekurangan. Itulah kebahagian. Semoga aku mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini secepatnya dan bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Asiiik, penelitian yang menarik, pasti hasiknya akan bermanfaat bagi umat. :D

Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...