Berhubung
selama tiga hari media sedang marak dengan berita Pernikahan Agung Keraton
Yogyakarta, saya pun tidak ketinggalan berbagi cerita tentang perhelatan akbar
ini. Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang Yogyakarta, tapi karena
memang sedang hot moment, ya saya
coba menulis semampunya. Bisa galau juga kan kalau terus memendam ide menulis di
kepala? Hehe
Masyarakat
disana sangat ramah dan santun. Saat naik taxi saja sudah terasa berbeda.
Sopirnya berbicara dengan lembut dan sopan sambil berulang terdengar kata
“Nggeh”. “Nggeh” berarti mengiyakan sesuatu. Bahkan orang jawa rela
membungkukkan badan untuk mempersilahkan seseorang.
Yogyakarta bagi saya adalah kota yang tentram dan tenang. Kenapa? Di jalan raya pun masyakarat disana jarang yang terlihat melanggar peraturan lalu lintas. Bagi pengendara motor, jarang sekali terlihat bahkan tidak ada yang tidak memakai helm. Dan jika ada yang menyebrang, kendaraan akan berhenti dan mempersilahkan mereka untuk segera menyebrang. Ini yang saya rasakan sendiri.
Selain itu mereka juga tetap mempertahankan kebiasan daerah seperti memakai blankon bagi laki-laki. Kebanyakan dari mereka juga banyak yang memakai batik. Mereka menggunakan batik tidak hanya dipakai di hari Jumat atau pada acara tertentu. Mungkin karena itulah Yogja menjadi daerah yang terkenal dengan batiknya. Masyarakat Yogja terlihat sangat santun dan ramah dengan siapa saja. Keramahtamahan dan kebudayaannya lah yang membuat saya tertarik.
Beralih
dengan masalah pernikahan. Semua orang juga pasti tahu bahwa pernikahan adalah
hal yang sakral dan tidak bisa diputuskan hanya dengan sebelah pihak. Kita ambil
contoh dalam proses pernikahan Agung Keraton Yogjakarta yang selama 2 hari ini
saya pantau melalui pemberitaan di televisi.
Berharap
tidak tertinggal disetiap prosesi pernikahannya di keraton, di pagi hari saya menonton
televisi siaran langsung khusus liputan Pernikahan Agung. Rasanya sangat
menarik jika kita tahu bagaimana adat dan istiadat di provinsi lain, dalam hal
ini proses pernikahan.
Pernikahan
Agung kali ini adalah pernikahan putri bungsu dari Sri Sultan HB X yang bernama
GRAj. Nurabra Juwita dengan Angger Wibowo. Wah, beruntung sekali ya siapa saja
yang bisa mendapatkan hati purti keraton itu. Dari televisi terlihat sang putri
terlihat cantik, dan calon suami berwajah tampan.
Sudah
menjadi adat istiadat dilingkungan kerajaan bahwa siapapun yang menjadi bagian kerajaan,
maka sepasang mempelai akan mendapatkan gelar baru. Nurabra kini mendapat gelar
Gusti Kanjeng Ratu Hayu sedangkan calon suaminya mendapat gelar Gusti Pangeran
Haryo Notonegoro. Nah, berdasarkan pengetahuan yang saya dapat setelah
mendengar penjelasan dari sejarahwan Yogja, pemberian gelar itu dipilih atas
keinginaan Sri Sultan HB X sendiri. Anak pertama, kedua dan seterusnya memiliki
gelar tersendiri. Tapi yang mendapatkan gelar masih bisa diberi kesempatan
untuk memilih nama yang sesuai. Gelar yang baru diberikan mengandung doa dan
harapan serta disesuaikan dengan perkembangan zaman. Hayu sendiri berarti
Cantik, sedangkan Notonegoro berarti pemimpin negara. Wah, begitu implisit ya. Bisa
dibayangkan kita memiliki dua nama yang berbeda.
Pernikahan
Agung Yogjakarta ini menjadi Royal
Wedding yang sangat dinanti oleh seluruh masyarakat Yogjakarta. Banyak
sekali media yang meliput perhelatan akbar ini. Loh, saya juga baru tahu
ternyata pernikahan kali ini adalah pernikahan putri bungsunya Sri Sultan HB X.
2 tahun lalu putrinya juga menikah, yaitu GKR Bendoro dengan GPH Yudhanegara. Sang
adik mendahului si kakak. Saya kira orang jawa tidak memperbolehkan adik
mendahului kakak. Ternyata boleh ya, keluarga keraton pula.
Menjadi
lebih menarik karena sepasang sejoli keraton ini memiliki latar belakang
pendidikan yang bagus. GKR Hayu sejak SMP sudah menuntut ilmu ke luar negeri
dan kini pun GPH Notonegoro sedang bekerja menjadi diplomat di UNDP, New York. Wah
wah
Saya
memperhatikan setiap prosesi yang dijalankan kedua mempelai pada hari pertama
dan kedua. Saya rasa, prosesinya rumit. Hehe. Yah, wajar saja. Ini kan pernikahan
putri bungsu keraton. Saya masih teringat beberapa waktu lalu. Media juga gencar
mempublish berita tentang pernikahan Putra kerajaan Pangeran William dan Kate
Middleton. Ini terbukti bahwa keraton atau kerajaan masih menjadi sesuatu yang
diperhatikan oleh masyarakat.
Disetiap
prosesi pernikahan Agung ini memperhatikan setiap pakem Jawa dengan detil. Di
hari pertama ada proses nyantri, yaitu proses yang dikhususkan untuk mempelai
pria agar bisa belajar tentang bagaimana tata cara pergaulan atau ilmu yang ada
di keraton Yogja. Nyantri ini termasuk prosesi yang penting bagi pengantin
pria. Ditambah lagi karena GPH Notonegoro bukan keturunan darah biru. Zaman dulu
nyantri ini dilakukan selama 40 hari. Tapi karena mengikuti zaman modern,
akhirnya dijadikan hanya beberapa hari. Nyantri ini sendiri pada dasarnya
bertujuan untuk menjaga loyalitas calon suami ditengah-tengah keluarga keraton.
Jadi bukan orang sembarang yang masuk kedalam lingkungan keraton.
Setelah
itu ada proses Siraman, yaitu mempelai wanita akan disiram dengan 7 sumber mata
air dengan campuran bunga-bunga segar. Bunga-bunga diambil langsung dari
lingkungan keraton. Siraman dilakukan oleh 7 orang yang berbeda. Mempelai pria
dan wanita melakukan prosesi siraman ditempat yang berbeda.
Setelah
itu, pada malam hari ada proses tantingan dan midodareni. Tantingan adalah proses
khusus untuk mempelai wanita. Tantingan adalah saat sang bapak bertanya pada
putrinya tentang kemantapan hati apakah bersedia dinikahi esok hari.
Di
hari kedua, ada proses ijab kabul, panggih (pertemuan antara mempelai pria dan
wanita) dan Sungkeman. Ada yang berbeda dari adat tradisional jawa. Pada saat
ijab kabul, hanya mempelai pria yang datang. Mempelai wanita tidak diperbolehkan
untuk ikut. Hanya bisa mendengarkan sang calon mengucapkan ijab dan menerima
hasil. Setelah itu ada proses pondongan. Pondongan adalah saat ayah atau adik
dari ayah bersama calon suami menggendong calon istri. Pondongan ini sendiri
maksudnya agar suami tetap menghargai dan melindungi istrinya dalam hal apapun
ketika berkeluarga nanti.
Menurut
informasi yang saya dapat, undangan yang hadir di acara pernikahan agung ini sampai
7000 orang. Banyak pejabat negara yang hadir. Ya wajar, namanya juga putri
keraton lah ya kan? Hehe.
Pada
hari selanjutnya, yaitu esok hari, akan ada kirab. Akan ada 68 Kuda dan 12
kereta kencana yang akan mengiringi kedua pengantin baru ini. Wah, rasanya
sangat senang ya bisa bertemu dengan masyarakat luas sambil melambai-lambaikan
tangan sambil tersenyum. Naik kereta kencana pula. Seperi di dongeng-dongeng.
Hehe
Setelah
saya memantau proses pernikahan putri berdarah biru ini, saya mengambil
kesimpulan bahwa budaya menjadi sangat penting untuk dilestarikan. Moment
selama 3 hari ini setidaknya menjadi bukti bahwa untuk melakukan pelestarian
budaya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui pernikahan.
Salah seorang Abdi Dalem Keraton Yogyakarta mengatakan tentang kriteria calon
menantu, “Penghasilan memang penting, tapi tu nomor sekian. Bagi kami yagn
paling penting adalah seberapa mampu dia mampu menjaga budaya daerah kedepan”.
Saya tertegun. Beginikah orang Yogyakarta melestarikan budayanya?
Kesimpulan
lain yang saya ambil adalah, bagaimana kita bisa menerima kenyataan dan
menjadikan keluarga sebagai hal yang penting dalam suatu hubungan. Contohnya seperti
GPH Notonegoro yang kini menjadi suami putri keraton. Ia berasal dari
masyarakat biasa (bukan darah biru). Tapi dengan keyakinan, akhirnya kedua
keluarga dapat menyatu.
Dan
yang terakhir, tentang pendidikan perempun. Saya pernah mendengar bahwa yang
penting kita bisa memantaskan diri. Jika kita sudah berusaha menjadi yang
terbaik, insyaAllah akan hal-hal yang baik juga akan mengikuti. Termasuk
pendamping hidup.
Melihat
perkembangan zaman sekarang, pendidikan perempuan harus lah tinggi. Meskipun
pada dasarnya perempuan juga akan kembali ke dapur jika sudah berumah tangga,
tapi pendidikan tetaplah penting. Wah, sangat Bejo (kata orang jawa) kalau saya
mampu mendapatkan pendidikan yang baik, suami saya juga memiliki pendidikan
yang baik. Amin.
Intinya,
jangan pernah melupakan kearifan lokal (budaya) daerah kita sendiri. Saya
sendiri pun bangga menjadi putri Aceh. Aceh juga memiliki beragam adat istiadat.
Apalagi dalam hal proses pernikahan. Mulai dari pakaian pengantin sampai dengan
pelaminan berbedaa antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain. Meski memiliki
caranya sendiri, tapi pada dasarnya sama. Kalau budaya sudah mengikat diatas
pelaminan, apalagi yang ditunggu? Mari kita lestarikan untuk anak cucu ^_^
5 komentar:
Yogyakarta merupakan salah satu impian yang ingin kukunjungi. belum pernah ke sana sih. smoga suatu saat bisa
tulisan dan foto-fotonya kereeen ;)
Laporan menarik. Jika Kak Fardelyn blm, Alhamdulillah saya pernah sekali pada 2011.
Keumala, ada nyobai Kopi Susu Arang di angkringan? Wiih, enak tenaaan.
Saya, masih. Titik terjauh adalah Pekanbaru. Kunjungi saya juga di sini dan betapa butuhnya saya saran dan perbaikan. Trims yaa ... :)
http://nowayreturn.blogspot.com/2013/10/jalan-jalan-lihat-ponakan-ke-pekanbaru.html
Menarik bisa meliput langsung dari Keraton. Saya cuma bisa menyaksikan dari televisi... :)
Terima kasih kakak dan abang2, Yogjakarta memang ngangenin. hehe. Untuk angkringan, belum pernah nongkrong disana. Maklum cuma beberapa hari. Baru Jogja perjalanan terjauh. InsyaAllah langkah kaki dipermudah untuk ketempat daerah amazing lainnya :)
Posting Komentar