Jumat, 16 Mei 2014

Nasibku Malang, Ginjalku Lelang

Sugiyanto adalah satu dari sekian orang dinegeri ini yang terjepit dalam gemelut ekonomi sehingga bergantung pada keberuntungan menjual organ vital. Mendapatkan rupiah berpuluh juta dinegeri ini ternyata memutar pikiran dan perasaan masyarakat ekonomi kebawah untuk menjual salah satu ginjalnya. Suginyato, menjadi sosok yang kian dilirik media semenjak kasusnya menyinggung ekonomi dan pendidikan di negeri Zamrud Khatulistiwa.

Kenekatan menjual ginjal adalah jalan keluar terakhir untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan oleh pihak Pasantren Al Asyiriah, Bogor. Biaya yang harus ia bayar untuk membayar ijazah SMP dan SMA anaknya adalah 17 juta ditambah biaya adminstrasi Rp 20.000,-/hari. Sungguh biaya yang sangat mahal, terutama untuk seorang ayah yang hanya berprofesi sebagai tukang jahit.


Mungkin kita semua juga tidak asing lagi dengan berita yang sempat melejit di pertengahan tahun lalu ini (Juni 2013). Kasus yang dengan sangat cepat dibeberkan oleh media ini diawali persoalan yang cukup simpel, “ijazah”. Rasanya kok ada sih kasus seperti ini terjadi di Negeri Meutuah)* kita? Negeri yang digadang-gadang dengan semboyan Gemah Ripah Loh Jinawi)*. Negeri yang punya sumber daya alam yang sungguh luar biasa melimpah.

Kasus penjualan ginjal ini mulai “menyenggol” saya lagi ketika mendengar update berita terbaru disalah satu stasiun televisi swasta (16/5/2014). Shara Meilanda Ayu, yang akrab disapa Ayu hilang dari rumah selama 1 bulan. Ada apa gerangan?  Pasalnya Ayu hilang bersama pacarnya dan tidak mengikuti kuliah beberapa kali. Ini sungguh mengecewakan ayahnya yang berjuang hingga rela hampir menjual ginjal berharganya.


Ayu mendapatkan sorotan dari media dan berhasil menggugah Moh. Nuh, Menteri Pendidikan RI, untuk membantu keluarga malang ini. Diterima sebagai salah satu mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta meski nilai tidak mencapai standar merupakan hal yang sangat disyukuri oleh Sugiyanto. Tapi kini ia hanya bisa menanggung malu karena merasa masih punya tanggung jawab moral pada Pak Menteri. Anak yang dulunya membuatnya rela berpanas-panasan mencari pembeli ginjal akhirnya hilang bersama pacar yang tidak jelas. Niat ikhlas yang ia abadikan di hati akhirnya sirna semenjak anaknya mulai menunjukkan keinginan tidak ingin melanjutkan sekolah.

Jual Ginjal adalah Life Style?
 Ya, bisa jadi. Karena pada dasarnya menjual ginjal terjadi akibat desakan tuntutan ekonomi. Sehingga masyarakat mencari jalan pintas untuk mendapatkan solusi permasalahan hidup. Menjual ginjal sebenarnya tidak hanya terjadi masyarakat kalangan bawah maupun menengah ke bawah. Ini bisa juga terjadi pada masyarakat kalangan atas yang prinsip “punya segalanya”. Tapi melihat tuntutan ekonomi dan zaman modern sekarang ini, masyarakat menjual ginjalnya karena life style yang penuh dengan gengsi semu. Demi membeli tas bermerek, baju mahal, dan perhiasan, tentu saja tidak menutup kemungkinan menjual ginjal untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Untungnya Indonesia masih tergolong negara yang masyarakatnya tidak terlalu nekat dibanding negara-negara lain. Persentasenya bisa dikira jika menjual ginjal dikarenakan faktor ekonomi. Meski merupakan organ yang paling vital, ternyata banyak orang yang mengorbankannya. Lalu, patutkah ini dijadikan suatu life style di negara kita? Think again.


Saya kira, banyak orang yang menjadikan ginjal sebagai pelarian karena mereka tidak tahu persis apa fungsi penting dari sebuah ginjal. Meskipun kita semua memiliki dua ginjal, rasanya akan berbeda hanya hidup dengan satu ginjal. Two is better than one.

Faktor tendensi ekonomi dan ketidaktahuan dalam masyarakat adalah penyebab mengapa seseorang memutuskan untuk menjual ginjal. Menjual ginjal dengan alasan faktor ekonomi jelas hanya jalan keluar jangka pendek. Beda halnya jika ginjal dibutuhkan untuk transplantasi untuk mereka yang membutuhkan.

Apa Rasanya Hidup dengan Satu Ginjal?
Setiap manusia memiliki 2 ginjal, dikanan dan dikiri tulang belakang. Sebagai organ vital ekskresi, ginjal berfungsi penting untuk menyeimbangkan cairan dan zat. Jika ginjal sudah tidak berfungsi normal dan dalam keadaan kronis stadium akhir, maka diperlukan transplantasi ginjal sehingga nantinya dapat meningkatkan kualitas hidup.

Hidup dengan satu ginjal, tentu ada yang berbeda. Jika seorang pendonor ginjal tidak sehat, maka sudah bisa dipastikan ginjalnya juga tidak sehat sehingga hidup dengan satu ginjal bisa membuat kesehatannya semakin memburuk. Seorang pendonor harus dipastikan kesehatannya terlebih dahulu jauh dari penyakit hipertensi dan diabetes.


Memang ada sebagian orang yang bisa hidup normal dengan satu ginjal. Tapi tetap saja ia harus bisa menjaga kesehatannya dengan baik karena jika terlalu lelah dan daya tahan tubuh melemah, justru ginjal tersebut akan ‘memberontak“. Jadi, sebelum sakit, mari kita jaga ginjal berharga ini dengan baik. Menjaga kadar gula, darah dan tentu saja menghindari rokok.

Relasi Kesehatan, Ekonomi dan Pendidikan
Apa benang merah yang bisa kita ambil dari semua kasus penjualan ginjal? Kasus Sugiyanto yang seakan-akan dipersulit hanya karena ijazah mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan. Sembari demikian, ini juga membuktikan bahwa ekonomi masyarakat tidak lah diatas rata-rata. Dan akhirnya memilih jalan  mengorbankan kesehatan demi sejumlah rupiah. Sungguh miris.

Setidaknya saya juga bisa menarik kesimpulan bahwa negara berperan penting dalam masalah ini. Negara juga harus berperan untuk memajukan demokrasi ekonomi. Jangan sampai alasan ekonomi dijadikan embel-embel untuk mengorbankan kesehatan dan memihak pada pendidikan yang serba riweuh)*.

Sungguh sangat disayangkan jika terlalu banyak anak seperti Ayu yang tidak bersyukur sudah diberikan ayah yang begitu bersemangat menyekolahkan anaknya, rela mengorbankan ginjal berharganya dan bahkan sudah mendapatkan perhatian dari kementerian pendidikan. Kecewa rasanya kok ada sih anak yang malah memilih lari ke pacarnya dan mengabaikan tanggung jawab moral pada ayahnya? Dapat beasiswa dari Pak Menteri pula untuk masuk kuliah.

Tapi ayah tetap lah ayah.

“Bapak rela jika kamu tidak mau kuliah lagi. Mungkin kamu malas untuk berpikir dengan kuliah. Bapak hanya ingin membahagiakan kamu. Jika kamu lebih bahagia dengan tidak kuliah, Bapak rela. Pulang lah, nak“. Ujar Sugiyanto, dengan nada tegar di stasiun televisi malam itu.

Tak lama kemudian Ayu menelepon ayahnya secara live. Ternyata ia sudah pulang kerumah saat tahu ayahnya diwawancarai. Ia mengaku malu jika ayahnya harus membeberan semuanya di media. Sangat disayangkan, niat ikhlas orang tua tidak dihargai pada anaknya.

Saya banyak belajar dari kasus ini. Hingga menggerakkan jari-jari saya untuk beropini lewat tulisan. Semoga kita semua bisa belajar dari pengalaman orang lain. Terutama hikmah bagaimana menghargai usaha dan niat ikhlas dari orang tua. Sungguh, orang tua memberikan terbaik untuk anaknya meski harus mengorbankan nyawa [].



Note :
Gemah Ripah Loh Jinawi : Tentram dan makmur serta subur tanahnya
Meutuah : (Bahasa Aceh) : Baik, damai, ten
Riweuh : (Bahasa Sunda), Ribet, Rumit, Repot

4 komentar:

Humbleisbeauty mengatakan...

Sayangnya hanya sang "AYAH" yang benar-benar tulus dan bertindak "benar"

Lalu dimana peran pemerintah?institusi pendidikan?institusi kesehatan?masyarakat umum? tokoh Ayu (anak/pelajar)?

Akhirnya kita tidak bergerak ke arah solusi, karena dalam proses penyelesaiannya kita hanya menggunakan konsep "wing" bukan "wings". Karena hanya satu pihak (wing) yang ber'itikad baik, maka hasilnya tidak maksimal. Jangankan memberikan solusi, malah kita semakin terjerumus dalam lubang "kenistaan, kehinaan dan kesemrawutan". Akhirnya ini hanya menjadi sebuah tontonan yang sifatnya mencibir dan saling menyalahakan.

Kuncinya ada di semangat kebersaman, kolaborasi dan integrasi dari komponen terkait untuk meng"troubleshoot" segalanya. Bagaimanapun juga, burung tidak akan terbang dengan satu sayap bukan?

Fadhiela mengatakan...

Tentu, burung tidak akan bisa terbang dengan 1 sayap. Ia butuh 2 sayap :)
Oleh karena itu, kita yang menjadi masyarakat harus kritis dan membuka pikiran. Stand up, Speak up dan Take Action! Kita bukan mendiskusikan masalah, tapi bagaimana caranya masalah ini kita carikan solusinya. Tugas kita bersama :)
Terima kasih sudah berkunjung, kanda

Anonim mengatakan...

dela bisa poskan hasil dan teknik dalam pertanian mencapai pangan terbaik

Fadhiela mengatakan...

Maksudnya yang tentang apa? nanti heri langsung saja ke blog Dela yang satu lagi. Ada di malanove.wordpress.com

Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...