Zehir, adik pertamaku, sudah memantapkan hati untuk melanjutkan sekolah di Jogyakarta. Tanggal 28 ia sudah harus meninggalkan Aceh dan merantau di negeri orang. Oleh karena itu, aku dan keluarga bergegas menuju Banda Aceh untuk mengantarkan kepergiannya. Syukurlah, perjalanan lancar meskipun ada sedikit hambatan saat menuju kota Calang.
Ada jalan yang hampir saja diblokir oleh warga. Aku juga sempat heran. Ternyata warga disekitar daerah tersebut protes akibat jalan tersebut sudah 8 tahun tidak ditangani oleh pemerintah. Akibatnya, selama ini masyarakat sekitra hanya makan debu. Padahal, jalan tersebut satu-satunya jalan penghubung dari Meulaboh ke Calang atau Banda Aceh.
Pukul 22.00, kami sekeluarga sampai di rumah. Begitu melelahkan. Keesokan harinya, Sekitar pukul 9.00, kami menuju Ulee Kareng untuk membeli sedikit oleh-oleh buat bang Popon. Bang Popon adalah anak kawan ayah yang juga berangkat bersama dengan adikku. Setelah berkeliling sekitar 1 jam, akhirnya sekilo bubuk kopi Ulee Kareng dan 2 buah pashmina cantik ditemukan juga.
Ada jalan yang hampir saja diblokir oleh warga. Aku juga sempat heran. Ternyata warga disekitar daerah tersebut protes akibat jalan tersebut sudah 8 tahun tidak ditangani oleh pemerintah. Akibatnya, selama ini masyarakat sekitra hanya makan debu. Padahal, jalan tersebut satu-satunya jalan penghubung dari Meulaboh ke Calang atau Banda Aceh.
Pukul 22.00, kami sekeluarga sampai di rumah. Begitu melelahkan. Keesokan harinya, Sekitar pukul 9.00, kami menuju Ulee Kareng untuk membeli sedikit oleh-oleh buat bang Popon. Bang Popon adalah anak kawan ayah yang juga berangkat bersama dengan adikku. Setelah berkeliling sekitar 1 jam, akhirnya sekilo bubuk kopi Ulee Kareng dan 2 buah pashmina cantik ditemukan juga.