Rasanya
aneh dizaman sekarang ini masih ada yang belum familiar dengan istilah entrepreunership. Ada banyak keywords yang terlintas saat mendengar
kata ini. Mandiri, modal, usaha, keputusan, bisnis, peluang, kaya, profit,
bangkrut, dan… pelarian. Iya, sebuah pelarian. Sebuah dunia abu-abu yang hingga sekarang menjadi
momok dan rasa ngeri untuk sebagian
orang. Mulai dari rasa tidak mampu, tidak mempunyai modal dan bahkan ketakutan
akan gagal (bangkrut).
Mungkin
karena saya tidak mendapatkan Mata Kuliah Kewirausahaan saat berkuliah S1 dan karena
saya bukan berasal dari keluarga pebisnis, pandangan tentang dunia kewirausahaan
juga masih asing dipikiran saya. Kedua orang tua yang notabene seorang pendidik
di sekolah menengah menjadikan saya justru terbiasa dengan profesi pengajar. Bukan berwiraswasta.
Namun paradigma tentang esensi dari sebuah makna kewirausahaan menjadi semakin
jelas sejak mengeyam pendidikan di Master Sains Agribisnis IPB. Saya mengenal banyak
istilah dalam pendekatan teoritis entrepreneurship.
Kampus
yang terkenal dengan karakter kewirausahaannya ini, IPB mendorong minat
mahasiswa dengan adanya Mata Kuliah
Kewirausahaan. Sejak mengikuti perkuliahan inilah, saya menyadari ternyata
jika makna dari kewirausahaan dipisah-pisahkan menjadi lebih detil, esensi “kewirausahaan”
menjadi hal yang semakin menimbulkan rasa penasaran. Mulai dari bagaimana hubungan
kewirausahaan terhadap labor market,
labor supply dan demand, human
capital, hingga bagaimana hubungannya dengan unemployment rate dll. Berwiraswasta bukan semata-mata menjual
sesuatu dan mengharapkan keuntungan. Banyak hal-hal lain yang patut
dipertimbangkan.
Dr.
Ir. Rahmat Prambudy MS, salah seorang dosen saya di kampus saat mengajar di
kelas kewirausahaan mengatakan bahwa “Sifat
ulet, disiplin, sabar, berani bertindak dan berani menanggung resiko adalah “ruh”
dari makna entrepreneurship. Jadi kewirausahaan bukan lah sebuah profesi,
melainkan sebuah “ruh”. Beliau menjelaskan secara gamblang bahwa sifat
inilah yang paling utama mutlak dimiliki oleh mahasiswa IPB meksipun akhirnya
juga tidak berprofesi sebagai wiraswasta (entrepreneur). Sifat-sifat ini
sebaiknya direalisasikan melalui kontribusi pada keluarga terdekat.
Ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik saya
dan beberapa teman saya saat berdiskusi tentang dorongan dan hambatan seseorang
berwirausaha. Salah seorang teman saya bertanya, apakah ada alat ukur yang dapat mengujur sebesar apa minat seseorang untuk
berwirausaha? Sayangnya tidak ada. Minat adalah dorongan internal dari
seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Oleh karena itu, didalam
penelitian, sifat ini adalah hal yang kualitatif. Sangat susah mengukur hal-hal
yang kualitatif karena tidak ada ukuran mendeteksinya.
Pertanyaan
lain yang menarik adalah “mengapa banyak
mahasiswa yang lulusan pertanian maupun agribisnis justru cenderung memilih
profesi sebagai pegawai?” menurut buku “The Oxford Handbook of
Entrepreneurship”, faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk menjadi
wirausaha adalah usia, kekayaan pribadi,
menikah, orang tua wiraswasta, memiliki pengalaman berwiraswasta dan
pendidikan. Jadi rasanya wajar jika
sosok Chairul Tanjung si Anak Singkong menjadi seorang pebisnis sukses karena
memang sudah sejak kecil terbiasa untuk berwirausaha. Maka juga tak bisa
disalahkan jika ada lulusan agribisnis ternyata tidak berminat menjadi
wirausaha.
Dr.Ir
Lukman M Baga, MA.Ec yang juga dosen saya mengatakan bahwa “jika kita bukan seorang wirausahawan, maka
mulai lah memupuk jiwa wirausaha pada anak kita nanti. Biarkan mereka
mendapatkan apa yang mereka ingin dengan jerih payah mereka sendiri.
Meskipun
mindset kebanyakan orang masih
menjadikan berwiraswasta adalah sebuah pelarian, walau bagaimanapun
wiraswasta pada akhirnya akan menjadi jalur alternatif karir yang menjanjikan
dimasa depan. LaIu, masih mau menjadikannya sebuah profesi pelarian?
[KF/03042016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar