Sudah beberapa bulan ini, sejak
merantau di Bogor, saya mulai iseng-iseng mencoba memasak. Pada awalnya masih
segan sama diri sendiri. Mikirnya apapun masakannya pasti gak jadi dan pasti rasanya jadi gak
enak. Tapi akhirnya ada satu alasan yang membuat saya tergerak untuk mulai
belanja dan mengolah makanan sendiri. Yaitu karena diremehkan oleh beberapa
teman. Ternyata diremehkan itu memberikan dua efek. Pertama minder, karena harus menerima kekurangan diri. Kedua menjadi lebih terbakar semangat. Diremehkan
memang membuat diri pada awalnya minder, tapi dengan niat perubahan, maka
remehan itu bisa jadi bahan bakar semangat yang paling mujarab.
Diremehkan membuat saya jadi
“geram” untuk berubah. Beh, jangan dipikir ini hal yang biasa. Justru ini hal
yang luar biasa bagi saya karena sudah mau berubah dan beraksi. Ya meskipunnya
mungkin masakan saya tidak seenak dibanding masakan mereka yang sudah ahli dan yang
sudah banyak dapat predikat pujian. Masakan yang saya buat masih bukan
apa-apanya. Bayangkan saja, saat masih kuliah sarjana di Banda Aceh, mungkin
memasak di kosan bisa dihitung pakai jari. Jika pun saya memasak, paling
masaknya cuma mie instan, telur dadar, tempe goreng dan nasi goreng. Haha. Jadi
jelas kalau banyak yang bilang saya ini tidak pandai memasak, that’s real.
Hanya satu alasan saya dulu
yang membuat saya jarang memasak, yaitu LAMA. Bagi saya memasak itu membuang
waktu karena prosesnya cukup lama. Pulang kuliah saya jadi malas ngapa-ngapain. Keinginan memasak ada, tapi
terkadang perut sudah keburu lapar duluan sebelum mulai memasak. Because I thought it wasted time, maka
saya lebih memilih makanan diluar. Alasan inilah yang membuat saya tidak
meneruskan bakat memasak yang “gak jadi” ini sejak masa-masa kuliah S1 dulu. Heuheu
Teringat dengan stetmen dari
orang-orang tua jaman doeloe “Perempuan
pada akhirnya juga akan ke dapur”. Setelah dipikir-pikir ada benarnya juga
sih. Perempuan, setinggi apapun pendidikan dan pekerjaannya, secara naluriah
akan menjadi ibu rumah tangga nantinya. Tentu harus siap fisik dan mental untuk
mengurusi rumah tangga, termasuk memberikan gizi yang terbaik untuk anak-anaknya.
Memikirkan hal jangka panjang ini,membuat saya ingin segera trial error memasak. Setidaknya bisa
mempersiapakan diri agar poin menjadi calon istri idaman “bisa memasak”
ter-ceklist. Eeaaakk. Saya memberanikan diri memasak meskipun sedikit
tertinggal dengan anak gadis sebaya saya.
Ngomong-ngomong
tentang esensi, memasak ternyata mengasikkan. Jika faktor proses memasak yang “lama”
itu bisa diabaikan, akan ada banyak hal seru dibalik mencacah bahan makanan,
pisau dan kuali penggorengan. Untuk newbie
seperti saya wajar jika menganggap bahwa memasak itu rumit. Mulai dari
memotong, membersihkan bahan makanan, menggoreng, menumis, memastikan masakan
enak rasanya, dan belum lagi harus menunggu masakannya matang. Wah, benar-benar
menguji kesabaran! Pada saat awal-awal belajar, saya mengerjakan pekerjaan
dapur ini dengan tidak rapi. Peralatan memasak berantakan disana-sini. Sama
sekali tidak mencerminkan calon istri yang ideal. Hufft. Pokoknya sangat
memalukan. Tapi karena sudah beberapa kali mengulang masak, akhirnya saya
semakin mengontrol emosi dan lebih bisa tenang ketika “memainkan” berbagai
peralatan dapur. Kian lama saya enjoy, semakin terkontrol juga proses memasak
itu.
Alasan lain yang membuat saya
jadi lebih senang mengolah makanan sendiri karena saya berkeinginan untuk
menurunkan berat badan. Diet cuuy.
Tapi saya tetap mengusahakan diet yang masih sehat dan tidak menyiksa batin. Tipe
badan saya agak aneh sih. Jika pola makan tidak terkontrol, berat badan saya
akan melejit naik. Ini terlihat dari ukuran pipi saya yang semakin menggemaskan
.aka. tembem mengembang kayak apam. Ini sangat-sangat-sangat tidak menyenangkan
untuk kebanyakan para perempuan termasuk saya diantaranya. Saat tersenyum, saya merasa wajah jadi kurang
proporsional gitu.
Saya memulai diet dari hal yang
paling mudah tapi sulit untuk dilakukan. Pertama
tidak mengkonsumsi mie instan atau segala jenis mie dan keluarganya lebih dari
satu kali dalam seminggu. Mie memang cepat sekali menaikkan berat badan.
Apalagi jika dikonsumsi pada malam hari. Oleh karena itu, (meski berat hati) saya
siap menjalani syarat ini. Kedua,
saya berusaha untuk konsisten tidak mengkonsumsi makanan berat dimalam hari. Apalagi
harus makan larut malam. Sebisa mungkin saya menghindari hal yang berakhir
penyesalan ini dengan cara mengganti menu selain nasi seperti menu buah-buahan
atau makanan lain yang kalorinya tidak terlalu tinggi sebelum jam 9 malam.
Awal-awal memang akan terasa lapar lagi, tapi saya lebih milih tidur cepat agar
rasa laparnya bisa tertunda hingga esok paginya. Ketiga, saya berusaha untuk kembali berolahraga yoga dan jogging
pagi dua kali dalam seminggu. Survei membuktikan bahwa olahraga jogging rutin
tidak hanya melatih jantung tapi juga dapat menurunkan berat badan. Bagi saya,
memilih makanan terbaik untuk tubuh dan menjadi fisik dengan olahraga adalah
sebuah investasi masa depan, apalagi bagi untuk perempuan. Kondisi biologis
perempuan yang lebih cepat menua setidaknya bisa diperlambat dengan
mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Saya percaya ketika melakukan
sesuatu dengan hati bahagia dan dikerjakan dengan yakin, maka apapun hasilnya ;
buruk atau baik, tentu akan dapat diterima dengan lapang dada. Contoh
pembenaran ini ada pada proses memasak. Memasak membutuhkan seni dan estetika.
Memasak itu indah, dan sexy. Betapa tidak, mulai mencuci sayur saja ada
caranya. Apalagi sampai harus pada tingkat mana fokus untuk mengecek makanan
sudah matang atau belum. Pada masa awal-awal memasak, saya sering
mengerjakannya sambil mendengarkan musik. Meski pun kadang-kadang masakan saya
gosong dan kekurangan garam. Tapi itulah hasil kerja keras. Hati menjadi puas
dan tetap menyantap makanan sendiri dengan lahapnya. Saya sering senyum-senyum
sendiri saat memasak. Ada banyak perasaan yang bercampur. Rasa bangga karena
sudah mau mencoba dan rasa malu karena mungkin masakannya belum enak. No problem. Memasak adalah seni.
“Everyone can cook, but only the fearless can be great”, ini ungkapan yang
sampai saat ini saya ingat dari film Ratatouille. Setiap orang bisa memasak.
Memasak apa saja, dengan rasa apa saja. Jadi rasanya agak miris jika kita
terlalu men-judge seseorang tidak
bisa memasak atau meremehkan orang lain yang tidak bisa memasak. Segala hal di
dunia ini membutuhan proses. Ada baiknya kita bisa memahami orang lain. Pesan
saya untuk yang ingin atau sedang belajar memasak, bersyukurlah bahwa kini
banyak sekali media yang memberikan tutorial memasak. Belajar memasak bisa
dicontoh dari youtube atau dari media
sosial lainnya. Apalagi jika dicoba dengan faktor errornya. Hehe, menyenangkan!
Bersyukurlah dengan segala kemampuan yang kita miliki meski itu bukanlah hal
yang luar biasa [KF/27032017]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar