Pada masa kesultanan Sultan Ali Mughayat Syah, diawal masa pemerintahan
kesultanan, Aceh Besar berasal dari tiga daerah bekas kekuasaan kerajaan hindu
yaitu Indrapuri, Indrapatra, dan Indrapurwa yang kemudian dikenal dengan istilah
Aceh Lhe Sagoe. Sebagai salah satu
daerah yang termasuk dalam Aceh Lhe Sagoe,
Indrapuri menjadi daerah yang tidak hanya menarik dalam segi sejarah, tapi juga
disetiap lini kehidupan didalamnya.
Indrapuri adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang
memproduksi padi terbesar setelah Kecamatan Montasik dan Kecamatan Seulimum. Hasil
produksi padi di Kecamatan Indrapuri pada tahun 2012 adalah 28.188 ton (BPS).
Hasil yang sangat fantastis, bukan? Ditambah lagi, menurut data dari Badan
Ketahanan Pangan Aceh tahun 2011 menunjukkan bahwa Aceh mampu mencapai surplus
beras hingga 497.457 ton. Kecamatan Indrapuri menjadi daerah yang memberikan
kontribusi dalam hal produksi beras di Aceh.
Sekelumit cerita inspirasi muncul dari sebuah perkampungan kecil di
Indrapuri. Daerah yang terkenal dengan hamparan sawah hijau ini ternyata menyimpan
nilai kehidupan yang tak banyak diketahui orang. Dibalik panorama beludru padi
hijau yang indah, banyak raut wajah berpeluh yang sedang berjuang hidup demi
sesuap nasi. Aku, seorang mahasiswa pertanian merasa beruntung karena menemukan
the real life dari tiap canda tawa
dan kesedihan mereka, para petani padi.
Kata orang, skripsi memberikan “ruh” yang berbeda disetiap prosesnya. Memang
benar. Skripsi hanyalah secuil dari tantangan besar yang akan muncul dimasa
depan. Mengapa? Karena skripsi sebenarnya menyimpan pesan moral yang luar biasa
jika prosesnya benar-benar dinikmati. Selama lebih dari satu bulan, akhirnya
aku menyelesaikan tahap pengumpulan data primer disana. Penelitian akhir yang
menguras waktu, biaya, dan tenaga ini memberiku pengalaman yang sangat berkesan.
Terdapat tiga kampung yang menjadi daerah penelitian. Kampung
Cureh, Kampung Cot Kareung dan Kampung Mureu Bueng Ue. Kampung tersebut adalah
kampung yang dinobatkan menjadi kampung dengan program Demapan (Desa Mandiri
Pangan) oleh Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan provinsi.
Mayoritas penduduk di daerah tersebut bisa dikatakan masih tergolong miskin.
Banyak sekali lika-liku berpeluh lelah ketika menjelajahi kampung-kampung
ini. Proses pertama yang harus aku lalui sebelum berani memasuki perkampungan
adalah mempersiapkan berkas seperti surat keterangan penelitian, kuesioner dan
note book. Persiapan yang tak kalah pentingnya adalah persiapan finansial.
Tentu saja dengan jarak daerah penelitian yang lumayan jauh dari Banda Aceh,
aku tetap harus mempertimbangkan isi dompet. Untungnya aku selalu mencatat
semua pengeluaran sehingga segala kebutuhan bisa aku pertimbangkan dengan baik.
Kampung Cureh adalah kampung pertama yang aku jelajahi. Banyak
kendala yang aku hadapi selama dilapangan. Mulai dari faktor bahasa Acehku yang
masih sangat kurang, sampai ke permasalahan waktu luang dari responden sendiri.
Walau bagaimanapun, Indrapuri sedang memasuki masa tanam. Oleh karena itu
masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di sawah. Waktu luang hanya ada
pada sore hingga malam hari. Faktor ini keterbatasan waktu wawancara ini lah
yang membuatku berulang kali bolak-balik untuk mengumpulkan data.
Hal yang sama juga aku lakukan di kampung-kampung
selanjutnya, yaitu Kampung Cot Kareung dan Kampung Mureu Bueng Ue. Di Kampung
Cot Kareung aku terpaksa menginap selama 2 malam di rumah pak sekdes. Istri pak
sekdes adalah ketua Demapan sehingga aku lebih mudah berinteraksi. Sedangkan
penelitian di Kampung Mureu Bueng Ue adalah proses yang paling cepat. Proses wawancara
hanya berjalan 2 jam dan selesai.
Lalu apa yang aku teliti di kampung tersebut? Ketahanan pangan rumah tangga
merupakan tema dari penelitianku. Tema ini bukan saran dari teman ataupun dosen
pembimbing sekalipun, melainkan tema yang memang aku minati sejak dulu. Aku memilih
tema tersebut karena ketahanan pangan masih menjadi permasalahan pembangunan
nasional.
Ketahanan pangan rumah tangga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran. Proporsi
pengeluaran pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga menjadi indikator apakah
suatu rumah tangga sudah tahan pangan atau belum. Jika suatu rumah tangga
mempunyai proporsi pengeluaran pangan yang lebih besar dibanding pengeluaran
non pangan, maka rumah tangga tersebut bisa dikatakan tidak atau kurang sejahtera, dalam kata lain tidak tahan pangan. Pangan tidak hanya diidentikkan dengan
ketersedian beras, tapi juga didukung oleh ketersediaan pangan lain seperti
holtikultura, lauk pauk dsb. Oleh karena itu, aku meneliti, dan menggali informasi
secara langsung dari masyarakat disana baik dalam hal pendapatan, pengeluaran,
bahkan juga informasi yang berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat.
Untuk mendapatkan informasi utama dan pendukung
penelitian ternyata gampang-gampang-susah. Pada awalnya kita harus paham betul
tentang kultur masyarakat pedesaan. Aku menjadi lebih berhati-hati dalam
berpenampilan dan bertutur kata. Mau tidak mau aku harus lebih sabar ketika berinteraksi
dengan masyarakat Aceh Besar yang notabene nya berwatak lebih kasar. Tidak
mudah sebenarnya. Apalagi ketika aku pulang dan pergi sendiri memasuki kampung orang Indrapuri. Bayangkan saja,
ketika kamu masuk ke daerah baru, puluhan mata akan memandangmu dari ujung kaki
ke ujung kepala!
Sungguh miris ketika aku bisa menyaksikan langsung disetiap
sela kehidupan petani disana. Kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja susah, apalagi harus memenuhi
kebutuhan non pangan mereka. Seorang janda miskin yang sudah ditinggal suami
sejak anaknya masih beberapa bulan dikandungan harus menanggung beratnya hidup.
Begitu menyesakkan dada, ketika seorang ibu haya mampu memberikan air yang
dicampurkan gula setiap harinya untuk menggantikan kebutuhan susu. Buah-buahan
pun tidak pernah dimakan lagi dengan alasan “han sep peng kamoe meubloe buah“ (tiak cukup uang kami untuk beli
buah). Bahkan ada ibu tua yang sudah terbiasa mengkonsumsi minyak goreng sisa
untuk menjadi minyak gorengnya sehari-hari ketika memasak.
Akhirnya aku berhasil menyelesaikan tahap ini selama
kurang lebih 1,5 bulan. Bersyukur sekali masih diberikan kesehatan dan
kesempatan berkeliling ke daerah yang sama sekali tidak pernah aku kunjungi
sebelumnya. Sawah yang mulai terlihat hijau dengan gunung dan langit yang biru seperti
penghapus lelah tiap kali melakukan perjalan dari Banda Aceh ke Indrapuri
maupun sebaliknya. Meskipun aku adalah seorang mahasiswa pertanian, tapi
pengalaman berinteraksi langsung dengan petani masih menjadi hal yang asing
bagiku. Dari pengalaman inilah aku bisa belajar banyak, terutama pelajaran
tentang hidup. Aku bisa melihat langsung kehidupan keluarga petani yang sangat
memprihatinkan, tentang cara bergaul dengan mereka, dan bahkan tentang makna
kerja keras sesungguhnya.
Rasa syukurlah yang seharusnya kita miliki sebagai
manusia. Segala kemudahan yang kita dapatkan selama ini jangan sampai membuat
kita lupa diri. Masih banyak orang diluar sana yang sangat kekurangan secara
ekonomi. Meskipun demikian, aku yakin orang kampung tidak kekurangan esensi
dari kebahagian. Meskipun secara materi
mereka kekurangan, tapi mereka masih bisa tersenyum ikhlas layaknya seseorang
yang tak pernah kekurangan. Itulah kebahagian. Semoga aku mampu menyelesaikan
penulisan skripsi ini secepatnya dan bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.
1 komentar:
Asiiik, penelitian yang menarik, pasti hasiknya akan bermanfaat bagi umat. :D
Posting Komentar