Kamis, 29 Mei 2014

Selamat Ulang Tahun, Ayah

Keluarga kami sejak dulu bukanlah keluarga “gaul” yang menggangap Hari Ulang Tahun adalah hari yang spesial dan perlu dirayakan besar-besaran. Tapi juga bukan keluarga yang terlalu fanatik dengan istilah “Hari Ulang Tahun”. Perayaan ulang tahun di keluarga kami hanya sebatas makan bersama dengan menu kesukaan. Not really a special day. We’d like to celebrate it with spending time together and going somewhere.

Masih teringat jelas di memori ini, ketika berumur 7 tahun akhirnya saya bisa merasakan bagaimana pesta ulang tahun. Dengan gaun jahitan berwarna perak, saya merasa sangat senang di hari itu. Teman-teman sepermainan (tetangga) dan teman-teman sekolah berdatangan sambil membawa kado. Mereka semua memakai gaun yang indah sambil menenteng kado masing-masing.

Tapi jujur saja, dulu saya masih sangat lugu. Merayakan ulang tahun itu hanya semata-mata ingin mendapatkan kado dari teman-teman. Hehe, asik ya, membayangkan masa kecil. Kita berpikir seperti tidak ada beban.

Nah pada akhirnya, 25 Mei yang lalu, ayah tercinta pun tiba giliran berulang tahun. Awalnya saya lupa dengan tanggal spesial itu. Tapi setelah adik saya, Dita, mengabari bahwa hari itu adalah hari spesial, saya pun kemudian segera mengabari ayah.

“Ayah tahu hari ini hari apa? Hari ini ulang tahun Ayah“, sambil cengengesan. haha
“Iya, Dita bilang seperti itu“ jawab ayah kalem.
(wah ini ayah santai aja ya. Gak ada yang spesial-spesialnya)
“Selamat ulang tahun ya yah. Panjang umur ayah, sehat juga“
“Iya, Amin, yang penting anak ayah semuanya sukses nanti" doa ayah.

Saya pun langsung terharu mendengar doa ayah ini. Karena meskipun ayah tidak terlalu menggangap hari itu adalah hari yang spesial. Tapi ayah mendoakan kami anak-anaknya agar sukses kedepan. Ya Rabb, semoga Engkau senantiasa menjaga kedua orang tuaku

Ayah, Sosok Orang Tua Yang Perhatian
Saya bersyukur karena ditakdirkan mempunyai seorang ayah yang (meskipun) hanya seorang guru. Ibu juga seperti itu. Jadi, selain mengajar di kelas, mereka masih mempunyai waktu yang cukup buat kami anak-anaknya. Bayangkan jika orang tua saya adalah orang tua karir yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor, mana mungkin saya tahu cara berwudhu yang benar, bagaimana saya harus mengerti melihat jam, mengerti tajwid saat mengaji. Saya bersyukur karena orang tua menjadi guru terbaik dalam hidup. Yah, saya benar-benar bersyukur.

Ayah bukan lah sosok sangar yang ditakuti oleh orang banyak. Ayah terbiasa bergaul dan ramah dengan orang lain. Hal ini terlihat karena ayah punya relasi yang bagus dengna orang lain.Perhatian yang ia berikan tercurah pada anak-anaknya. Terutama saya, sebagai anak pertama. Saya banyak diajari oleh ayah tentang agama, dan wawasan umum selama dirumah. Meskipun Matematika bukanlah menjadi bidang andalan ayah, tapi saya sangat bisa mengerti perkalian dan mengenal cara baca jam analog.

Memang Ayah dan Ibu dulu tidak terlalu banyak mengajari saya tentang ini dan itu. Saya lebih senang belajar otodidak dan segera menanyakannya pada ayah dan ibu jika ada hal yang tidak saya mengerti. Lambat laun kemandirian saya pun tumbuh dari masa-masa ini.

Tidak Merokok Dan Senang Dengan Kebersihan
Ayah pernah bilang kalau Ayah bukan salah satu anak muda “gaul“ di masa mudanya. Istilah “gaul“ identik dengan perokok. Lah Ayah? Sampai sekarang ayah bukan perokok. Ini lah yang saya banggakan dari seorang Ayah.Beliau mampu memberikan contoh yang baik hingga tua pada anak-anaknya.
Ayah Saat Mengajar

dan Ibu Saat Mengajar
Pekerjaan rumah pada dasarnya sangat wajar jika dilakukan oleh perempuan. Tapi di keluarga kami, Ayah adalah satu-satu orang yang sangat responsive terhadap kebersihan. Dalam satu hari, setiap pagi dan sore jika tidak ada jadwal mengajar, ayah sering membersihkan rumah. Menyapu, menyiram bunga, dsb. Ini pekerjaan yag biasa dikerjakaan perempuan. Tapi ayah dan ibu seperti bisa membagi pekerjaan rumah. Sebaliknya, Ibu selalu dan hanya mengerti tentang seluk beluk di dapur. Masalah bikin kue, es krim, mie, dsb, wah itu jagonya ibu deh! hehe

Banyaknya peralatan dan perkakas pecah belah di rumah membuat ayah selalu overprotecting menjaganya. Ayah rajin membersihkannya dan sangat gamang tiap kali banyak sepupu dan keponakan yang berlari-lari dirumah. Saya sendiri jadi was-was. Huft.

Selamat Ulang Tahun , Yah
Bahkan ketika tulisan ini ditulis pun, ayah tidak pernah membacanya. Ya, ayah bukanlah orang yang melek teknologi. Hingga saat tulisan ini dipublish pun, saya masih memberitahukan pada ayah bagaiman membuka keumala-goldenwings.blogspot.com. hehe

Tapi tulisan ini tidak harus dibaca, saya ikhlas menuliskannya.


Perasaan sayang, gembira, dan respek pada orang tua jauh dari sekedar menulis kata-kata sederhana di blog ini. Meskipun demikian, saya merasa lega, karena meskipun jarak jauh, saya bisa berbuat sesuatu meski hanya dengan kata-kata.

Selamat hari lahir Yah, semoga keinginan Ayah agar anak-anaknya sukses terkabul. Panjang umur dan sehat selalu. Toga yang akan aku pakai tidak lama lagi kau lihat. Membanggakanmu sekarang dan masa depan. Amin


Jumat, 16 Mei 2014

Nasibku Malang, Ginjalku Lelang

Sugiyanto adalah satu dari sekian orang dinegeri ini yang terjepit dalam gemelut ekonomi sehingga bergantung pada keberuntungan menjual organ vital. Mendapatkan rupiah berpuluh juta dinegeri ini ternyata memutar pikiran dan perasaan masyarakat ekonomi kebawah untuk menjual salah satu ginjalnya. Suginyato, menjadi sosok yang kian dilirik media semenjak kasusnya menyinggung ekonomi dan pendidikan di negeri Zamrud Khatulistiwa.

Kenekatan menjual ginjal adalah jalan keluar terakhir untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan oleh pihak Pasantren Al Asyiriah, Bogor. Biaya yang harus ia bayar untuk membayar ijazah SMP dan SMA anaknya adalah 17 juta ditambah biaya adminstrasi Rp 20.000,-/hari. Sungguh biaya yang sangat mahal, terutama untuk seorang ayah yang hanya berprofesi sebagai tukang jahit.


Mungkin kita semua juga tidak asing lagi dengan berita yang sempat melejit di pertengahan tahun lalu ini (Juni 2013). Kasus yang dengan sangat cepat dibeberkan oleh media ini diawali persoalan yang cukup simpel, “ijazah”. Rasanya kok ada sih kasus seperti ini terjadi di Negeri Meutuah)* kita? Negeri yang digadang-gadang dengan semboyan Gemah Ripah Loh Jinawi)*. Negeri yang punya sumber daya alam yang sungguh luar biasa melimpah.

Kasus penjualan ginjal ini mulai “menyenggol” saya lagi ketika mendengar update berita terbaru disalah satu stasiun televisi swasta (16/5/2014). Shara Meilanda Ayu, yang akrab disapa Ayu hilang dari rumah selama 1 bulan. Ada apa gerangan?  Pasalnya Ayu hilang bersama pacarnya dan tidak mengikuti kuliah beberapa kali. Ini sungguh mengecewakan ayahnya yang berjuang hingga rela hampir menjual ginjal berharganya.


Ayu mendapatkan sorotan dari media dan berhasil menggugah Moh. Nuh, Menteri Pendidikan RI, untuk membantu keluarga malang ini. Diterima sebagai salah satu mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta meski nilai tidak mencapai standar merupakan hal yang sangat disyukuri oleh Sugiyanto. Tapi kini ia hanya bisa menanggung malu karena merasa masih punya tanggung jawab moral pada Pak Menteri. Anak yang dulunya membuatnya rela berpanas-panasan mencari pembeli ginjal akhirnya hilang bersama pacar yang tidak jelas. Niat ikhlas yang ia abadikan di hati akhirnya sirna semenjak anaknya mulai menunjukkan keinginan tidak ingin melanjutkan sekolah.

Jual Ginjal adalah Life Style?
 Ya, bisa jadi. Karena pada dasarnya menjual ginjal terjadi akibat desakan tuntutan ekonomi. Sehingga masyarakat mencari jalan pintas untuk mendapatkan solusi permasalahan hidup. Menjual ginjal sebenarnya tidak hanya terjadi masyarakat kalangan bawah maupun menengah ke bawah. Ini bisa juga terjadi pada masyarakat kalangan atas yang prinsip “punya segalanya”. Tapi melihat tuntutan ekonomi dan zaman modern sekarang ini, masyarakat menjual ginjalnya karena life style yang penuh dengan gengsi semu. Demi membeli tas bermerek, baju mahal, dan perhiasan, tentu saja tidak menutup kemungkinan menjual ginjal untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Untungnya Indonesia masih tergolong negara yang masyarakatnya tidak terlalu nekat dibanding negara-negara lain. Persentasenya bisa dikira jika menjual ginjal dikarenakan faktor ekonomi. Meski merupakan organ yang paling vital, ternyata banyak orang yang mengorbankannya. Lalu, patutkah ini dijadikan suatu life style di negara kita? Think again.


Saya kira, banyak orang yang menjadikan ginjal sebagai pelarian karena mereka tidak tahu persis apa fungsi penting dari sebuah ginjal. Meskipun kita semua memiliki dua ginjal, rasanya akan berbeda hanya hidup dengan satu ginjal. Two is better than one.

Faktor tendensi ekonomi dan ketidaktahuan dalam masyarakat adalah penyebab mengapa seseorang memutuskan untuk menjual ginjal. Menjual ginjal dengan alasan faktor ekonomi jelas hanya jalan keluar jangka pendek. Beda halnya jika ginjal dibutuhkan untuk transplantasi untuk mereka yang membutuhkan.

Apa Rasanya Hidup dengan Satu Ginjal?
Setiap manusia memiliki 2 ginjal, dikanan dan dikiri tulang belakang. Sebagai organ vital ekskresi, ginjal berfungsi penting untuk menyeimbangkan cairan dan zat. Jika ginjal sudah tidak berfungsi normal dan dalam keadaan kronis stadium akhir, maka diperlukan transplantasi ginjal sehingga nantinya dapat meningkatkan kualitas hidup.

Hidup dengan satu ginjal, tentu ada yang berbeda. Jika seorang pendonor ginjal tidak sehat, maka sudah bisa dipastikan ginjalnya juga tidak sehat sehingga hidup dengan satu ginjal bisa membuat kesehatannya semakin memburuk. Seorang pendonor harus dipastikan kesehatannya terlebih dahulu jauh dari penyakit hipertensi dan diabetes.


Memang ada sebagian orang yang bisa hidup normal dengan satu ginjal. Tapi tetap saja ia harus bisa menjaga kesehatannya dengan baik karena jika terlalu lelah dan daya tahan tubuh melemah, justru ginjal tersebut akan ‘memberontak“. Jadi, sebelum sakit, mari kita jaga ginjal berharga ini dengan baik. Menjaga kadar gula, darah dan tentu saja menghindari rokok.

Relasi Kesehatan, Ekonomi dan Pendidikan
Apa benang merah yang bisa kita ambil dari semua kasus penjualan ginjal? Kasus Sugiyanto yang seakan-akan dipersulit hanya karena ijazah mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan. Sembari demikian, ini juga membuktikan bahwa ekonomi masyarakat tidak lah diatas rata-rata. Dan akhirnya memilih jalan  mengorbankan kesehatan demi sejumlah rupiah. Sungguh miris.

Setidaknya saya juga bisa menarik kesimpulan bahwa negara berperan penting dalam masalah ini. Negara juga harus berperan untuk memajukan demokrasi ekonomi. Jangan sampai alasan ekonomi dijadikan embel-embel untuk mengorbankan kesehatan dan memihak pada pendidikan yang serba riweuh)*.

Sungguh sangat disayangkan jika terlalu banyak anak seperti Ayu yang tidak bersyukur sudah diberikan ayah yang begitu bersemangat menyekolahkan anaknya, rela mengorbankan ginjal berharganya dan bahkan sudah mendapatkan perhatian dari kementerian pendidikan. Kecewa rasanya kok ada sih anak yang malah memilih lari ke pacarnya dan mengabaikan tanggung jawab moral pada ayahnya? Dapat beasiswa dari Pak Menteri pula untuk masuk kuliah.

Tapi ayah tetap lah ayah.

“Bapak rela jika kamu tidak mau kuliah lagi. Mungkin kamu malas untuk berpikir dengan kuliah. Bapak hanya ingin membahagiakan kamu. Jika kamu lebih bahagia dengan tidak kuliah, Bapak rela. Pulang lah, nak“. Ujar Sugiyanto, dengan nada tegar di stasiun televisi malam itu.

Tak lama kemudian Ayu menelepon ayahnya secara live. Ternyata ia sudah pulang kerumah saat tahu ayahnya diwawancarai. Ia mengaku malu jika ayahnya harus membeberan semuanya di media. Sangat disayangkan, niat ikhlas orang tua tidak dihargai pada anaknya.

Saya banyak belajar dari kasus ini. Hingga menggerakkan jari-jari saya untuk beropini lewat tulisan. Semoga kita semua bisa belajar dari pengalaman orang lain. Terutama hikmah bagaimana menghargai usaha dan niat ikhlas dari orang tua. Sungguh, orang tua memberikan terbaik untuk anaknya meski harus mengorbankan nyawa [].



Note :
Gemah Ripah Loh Jinawi : Tentram dan makmur serta subur tanahnya
Meutuah : (Bahasa Aceh) : Baik, damai, ten
Riweuh : (Bahasa Sunda), Ribet, Rumit, Repot

Selasa, 13 Mei 2014

Layang-layang dan Benangnya

Aku tidak pernah tahu makna dari sebuah layang-layang. Ya, yang aku tahu ia hanya sebuah permainan yang sering dimainkan adikku saat masih kecil. Tidak lebih. Pada saat itu adikku sibuk membuat layangan sederhana yang terbuat dari plastik dan lidi. Setelah selesai ia berlari sambil mencari angin yang tepat agar layang-layangnya bisa terbang tinggi. Hanya sebatas itu. Layang-layang tidak lah begitu spesial untukku.

Hingga akhirnya memori membawaku untuk berpikir lebih dalam tentang makna sebuah layang-layang. Pikiran tentang layang-layang membuatku melayang semenjak ibu menjelaskan mengapa perempuan harus menjaga hati dan kehormatannya. Lalu sepintas aku merasa malu. Aku mungkin belum sepenuhnya menjadi apa yang ia harapkan.

Sebuah layang-layang pastilah mempunyai benang yang berkualitas. Sangat mustahil jika layang-layang dapat terbang tinggi jika benangnya tidak kuat. Layang-layang membutuhkan benang untuk dapat terbang, tanpa benang ia hanya akan menjadi barang yang tak berguna dan menjadi sampah.


Benang berkualitas tentu saja berharga lebih mahal dari benang biasa, tak akan kalah meski diadu dengan benang yang lain. Tak ada benang lain yang memutuskannya. Layang-layang dan benang adalah sepasang jodoh yang dari sana telah ditakdirkan berpasangan.

Tapi ada juga layang-layang yang hanya mampu terbang rendah, benangnya tak cukup bagus untuk menahannya terbang lebih tinggi. Ada pula layang-layang yang kemudian putus, tak mampu benang menahan layang-layang itu untuk tetap terikat, kalah oleh kuatnya angin.

Ada juga yang bermain adu layangan, saling bergesekan benang dengan benang yang lain. Akhirnya lagi-lagi salah satunya putus, benang dan layang-layang terpisah. Layang-layang yang kalah tak akan lagi berharga, benang yang kalah tak akan lagi dipakai. Disimpan, menjadi usang, dan mungkin saja dibuang.

Namun, ada pula layang-layang yang mampu terbang tinggi. Benang mampu menjaganya terbang dengan tenang. Angin yang menerpa tidak lah seberapa selama layang-layang masih bisa dikendalikan dan benang masih bisa dipertahankan. Layang-layang ini lah yang tentu saja diharapkan.


Laki-laki adalah layang-layang dan perempuan adalah benang. Tanpa perempuan, laki-laki tak akan menjadi apa-apa. Dibalik ketinggian (kesuksesan) laki-laki, ada perempuan dibaliknya. Oleh karena itu, bagi perempuan, jadilah seperti benang yang berkualitas terbaik. Buatlah layang-layang kelak terbang setinggi-tingginya, karena setinggi apapun ia terbang, ia selalu terikat dan akan bergantung dengan perempuan. Jagalah layang-layang agar dia tidak putus dan hilang arah, ingatlah bahwa layang-layang selalu ingin terbang tinggi. Perempuan memang mengikat, tapi ia senantiasa tahu manakala harus bersikap (memanjang dan memendekkan sulurnya).

Begitulah analogi dari sebuah layang-layang. Mengagumkan bukan? Sungguh setiap hal yang ada didunia ini punya makna. Tergantung kita menilainya. Tergantung bagaimana kita bisa belajar dari setiap celah kehidupan ini. Baik benang, layang-layang, dan angin adalah tiga hal yang saling berhubungan. 

Ini bukan hanya dari cerita Ibunda, tapi juga dari tiap kata-kata yang pernah kubaca. Aku ingin menjadi sebaik-baiknya benang untuk layang-layangku. Menjadi perempuan yang kuat, sabar dan selalu bisa memotivasi sang terkasih mencapai kesuksesannya. Lalu kau mau jadi benang yang seperti apa? Layang-layang yang seperti apa?





Minggu, 04 Mei 2014

Benarkah Orang Tua adalah Guru Terbaik?

Tentu saja tiap orang akan memberikan respon yang berbeda dengan pertanyaan ini. Mereka akan menjawab berbeda berdasarkan dari karakter, emosional dan latar belakang pendidikan mereka masing-masing. Tapi, jika pertanyaan ini ditujukan kepada saya, maka saya akan menjawab - Iya,  benar, orang tua adalah guru terbaik.

Pada satu sisi, orang tua adalah orang terdekat dan paling mengerti tentang apa yang kita butuhkan. Oleh karena itu, orang tua adalah orang yang paling tahu disetiap perkembangan fisik maupun mental. Sebagai orang tua, mereka akan membagikan setiap kesulitan dan kebahagiannya pada kita. Mereka lah yang lebih tahu disetiap gerak-gerik yang kita miliki.

Orang tua akan mengajari semua hal tentang apa yang kita sukai dan apa yang kita tidak sukai. Misalnya, jika orang tua sering membelikan anaknya buku tentang binatang laut, maka perlahan anak tersebut akan lebih menyukai hal-hal yang berkaitan dengan laut. Mereka akan senantiasa menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan binatang laut. Seperti bagaimana mereka berkembangbiak, dimana habitatnya, apa makanannya dll. Selain itu, secara langsung maupun tidak langsung, anak akan meniru orang tua selama memberikan didikan dirumah. Orang tua juga akan menurunkan sifat yang tidak baik pada anaknya jika orang tua tidak memberikan contoh perilaku yang terpuji.

Di sisi yang lain, di sekolah, kita akan di ajari oleh guru yang berpengalaman dalam hal ilmu pengetahuan. Tapi apakah seorang guru bisa seutuhnya bisa mengajarkan kita bagaimana berkomunikasi yang baik antar sesama? bagaimana menghadapi orang yang tidak dikenal? bagaimana berperilaku sopan, dan bagaimana membuat keputusan yang tepat untuk hidup kita? Hanya orang tua yang akan menghabiskan hidup mereka untuk bisa mencintai kita. Kepedulian yang mereka berikan adalah suatu cara agar kita bisa mengarungi hidup tanpa pertimbangan egois semata.

Meskipun orang tua tidak specialized di pendidikan, tapi peran mereka untuk menunjang pengetahuan anak-anak sangat lah besar. Orang tua mungkin tidak bisa mengajari kita Matematika, Kimia atau Biologi, tapi mereka sangat bisa memberikan kita pelajaran hidup tentang bagaimana harus mandiri, kuat dan percaya pada diri sendiri.

Tak Hanya Karena Orang Tua

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri. Namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991). 

Lingkungan adalah faktor penting untuk membentuk kepribadian anak/remaja. Menjadi remaja berarti menjalani masa penemuan jati diri yang membuat psikologis menjadi lebih terlihat secara signifikan. Selain perubahan fisik, lambat laun akan terjadi perubahan psikologis  sehingga kepribadian dan sosial remaja juga akan terbentuk.

Oleh karena itu, peran teman dan guru disekolah juga ikut terlibat dalam perkembangan anak. Bagaimana anak terlibat dalam pergaulan teman sebaya, mandiri dengan peraturan sekolah dll. Perkembangan perilaku anak/remaja lambat laun akan terbentuk dari tiap interaksi yang terjalin.

Dengan adanya nasihat dari teman maupun guru di sekolah, kita bisa jadi akan lebih mudah menerima dan mengikuti saran dari mereka. Tapi itu semua tidak akan menggantikan sosok dari orang tua. Bagi saya, hanya orang tua yang akan menghabiskan waktunya untuk kita. Mereka yang akan menjadi guru hidup terbaik kita. Tidak hanya untuk sekarang, tapi juga untuk seluruh hidup kita nanti.


I believe that parents are the best teachers because their lessons last forever. My parents have the most role in my education during my life and I will always be grateful for everything they have taught me.
Saya bersama ayah dan ibu saat masih balita
Ayah dan Ibu saat saya berumur 20 tahun
Lihat, sofa yang ayah dan ibu duduki itu masih awet sampai sekarang. Semoga cinta adinda pada ayah dan ibu lebih dari awetnya sofa itu. Sepanjang masa :)

Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...