Ketika Fakta Berbicara
Tak dipungkiri lagi, kini kelapa
sawit menjadi tanaman yang memiliki prospek tinggi dalam hal ekonomi. Indonesia
adalah salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit dan menjadikan minyak
kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar.
Meskipun perkebunan kelapa sawit
menyerap 2,5 juta tenaga kerja sedangkan bisnisnya menyerap 3,06 juta tenaga
kerja, pendapat pro dan kontra terhadap industri kelapa sawit ini tetap timbul.
Ada yang pro dengan alasan dapat meningkatkan perekonomian, ada juga yang
kontra karena kelapa sawit membawa isu lingkungan yang negatif. Berikut
beberapa fakta yang memaparkan bahwa kelapa sawit tidak selamanya memberikan
dampak negatif dan “mengerikan” bagi lingkungan.
1.
Sebagai Bahan Baku Diesel
Emisi gas rumah kaca dar minyak kelapa sawit lebih rendah
dibandingkan dengan komoditas lain. Emisi rumah kaca kedelai adalah 1387 kg
karbon sedangkan kelapa sawit hanya
setara dengan 835 kg karbon
2.
Menyerap Karbon Lebih Banyak
Kelapa sawit memiliki daur hidup 25-30 tahun yang mampu
menyerap karbon lebih banyak seperti hutan alam. Oleh karena itu kelapa sawit
sangat ramah lingkungan karena menjadi kanopi alami.
3.
Sebagai Bahan Baku Energi yang Ramah
Lingkungan
Penggunaan minyak kelapa sawit dapat mengurangi ketergantungan pada bahan
bakar fosil sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca
4.
Limbah Kelapa Sawit dapat Dimanfaatkan
Selain produk utama CPO (Crude Palm Oil) yang dapat diolah menjadi beberapa
produk, limbah kelapa sawit juga dapat digunakan untuk pupuk cair dan pupuk
padat (kompos), mulsa pakan ternak, arang aktif, dsb. Pemanfaatan limbah ini
menjadikan industri kelapa sawit menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan.
Fakta yang disebutkan diatas hanya beberapa dari
fakta-fakta yang bersumber dari Ditjen Perkebunan dan Dinas Kehutanan. Meskipun
kenyataan ini sudah terbukti, namun masih ada pihak yang menganggap bahwa
perencanaan industri sawit adalah suatu bencana, terutama jika industri kelapa
sawit di optimalkan di Aceh. Mengapa? Seorang alumni Fakultas Pertanian Unsyiah
berpendapat, “Kelapa sawit di Aceh tidak
perlu intensif. Masih ada industri olahan tanaman perkebunan yang bisa
diintensifikasikan seperti industri olahan kopi, kakao, dan karet. Selain itu,
perkebunan di Aceh juga sulit dilakukan karena belum ditetapkan sistem kebun
plasma sehingga berefek pada bahan baku dan olahan” (Suryadi, 3/4/2014).
Pendapat lain mengatakan, “Dampak negatif dari kebun sawit itu ada 5 hal, yaitu : penyorobotan
lahan penduduk, tergusurnya plasma nutfah, persaingan sumber pangan, pengurasan
air tanah, dan pemanasan global” (Heri Djuned, 3/4/2014)
Baik, saya tidak mengatakan pendapat ini salah, tapi
pendapat ini adalah pendapat yang timbul dari perspektif individu yang berbeda.
Jika Aceh menjadi contoh yang spesifik, wajar saja, karena banyak hal yang
dapat dijadikan bukti. Seperi kasus rawa tripa dan perebutan hak tanah antara
warga dengan salah satu perusahaan kelapa sawit di Aceh.
Lalu, Industri Kelapa Sawit Intensif di Aceh, Amankah?
Menurut Sekjen Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) dalam Lokakarya “Industri Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Menyejahterakan” di Banda Aceh, Asmar Arsjad mengatakan bahwa industri perkebunan kelapa sawit sangat strategis diusahakan karena penghasilannya cukup besar, baik untuk PAD (Pendapatan Hasil Daerah) maupun untuk menyejahterakan masyarakat.
Ya, saya setuju dengan pendapat ini. Tapi, lagi-lagi , isu terhadap lingkungan tidak akan reda. Bagi saya ini juga diakibatkan karena komunikasi. Ada media dan jurnalis yang terlalu “lebay” memberitakan isu kelapa sawit sehingga memberikan respon yang signifikan terhadap aktivis maupun komunitas lingkungan. Seharusnya, jika memang kelapa sawit bersifat merusak karena menyerap banyak air tanah, maka menurut Asmar Asjad, wartawan harus langsung ke lapangan dan jangan terlalu ekstrim memberitakan sesuatu. Lalu, amankah? Bagi saya semuanya akan aman jika perusahan, masyarakat, dan pemerintah satu pikiran. Dan tentu saja ada yang harus dikorbankan demi suatu tujuan. Namun perlu dipikirkan lagi bagaimana pengorbanan tersebut tidak sebelah pihak dan resiko yang diperoleh adalah resiko yang paling kecil.
Ya, saya setuju dengan pendapat ini. Tapi, lagi-lagi , isu terhadap lingkungan tidak akan reda. Bagi saya ini juga diakibatkan karena komunikasi. Ada media dan jurnalis yang terlalu “lebay” memberitakan isu kelapa sawit sehingga memberikan respon yang signifikan terhadap aktivis maupun komunitas lingkungan. Seharusnya, jika memang kelapa sawit bersifat merusak karena menyerap banyak air tanah, maka menurut Asmar Asjad, wartawan harus langsung ke lapangan dan jangan terlalu ekstrim memberitakan sesuatu. Lalu, amankah? Bagi saya semuanya akan aman jika perusahan, masyarakat, dan pemerintah satu pikiran. Dan tentu saja ada yang harus dikorbankan demi suatu tujuan. Namun perlu dipikirkan lagi bagaimana pengorbanan tersebut tidak sebelah pihak dan resiko yang diperoleh adalah resiko yang paling kecil.
3P, Implementasi Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan
Nah, apa
yang harus diperhatikan agar tercipta “Principle Of
Sustainable Development” untuk industri kelapa sawit? Kita perlu
mengingat prinsip 3P (People, Planet, Profit). People (Socially Acceptable), disini maksudnya suatu pembangunan industri yang ideal itu harus bisa
menjaga hubungan sosial dengan masyarakat. Caranya yaitu dengan menghargai hak-hak penduduk
setempat, tidak menentang hukum adat, dan memanfaatkan sumber daya sehingga
muncul agribinis yang diterima oleh masyarkat. Kemudian Planet (Environtmentally Friendly), disini industri dituntut untuk bisa menjadi Eco-Industry yaitu dengan
cara optimum penggunaan pupuk, pengendalian hayati hama dan penyakit,
konservasi energi (bisa dijadikan biodiesel), dan meminimalisir limbah. Dan yang
terakhir adalah Profit (Economically Viable), yaitu perbaikan produktivitas, peningkatan efisiensi SDA/SDM dan
pemasaran. Pemasaran yang dimaksud adalah perluasan pasar dan diversifikasi
produk.
Jika 3 ini sudah
bisa kita optimalkan, tidak ada masalah kan? Masalahnya sekarang adalah kita
sebagai masyarakat terlalu banyak beropini dan selalu menyalahkan pemerintah. Pemerintah
memang pihak yang mempunyai andil dalam suatu peraturan. Tapi yang
menjalankannya adalah masyarakat dan perusahaan tertentu. Jika 3 stakeholder
ini saling beradu pendapat dan menyalahkan, tentu tidak ada untungnya. Malaysia
dengan SDM yang lebih baik dari Indonesia akan tetap merajai produksi CPO dan
mensejahterakan bangsanya. Kita? Tentu juga bisa.
Saya hanya
menyatukan perbedaan pendapat yang sering saya dengar. Mudah-mudahan negeri
kita ini terus terjaga dengan bangsanya yang mau membangun negeri. Yaitu bangsanya yang mau berpikir
positif dan bijak menyelesaikan suatu permasalahan. Dilema perkebunan dan
industri sawit ini mungkin memang tidak akan habisnya sampai dimasa depan. Tapi
setidaknya kita tahu apa yang terjadi dan berharap kita lebih optimis menyikapi
ini. Bagaimana? Siap membangun industri yang suistainable?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar