Minggu, 06 April 2014

Dilema Industri Kelapa Sawit

Ketika Fakta Berbicara
            Tak dipungkiri lagi, kini kelapa sawit menjadi tanaman yang memiliki prospek tinggi dalam hal ekonomi. Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit dan menjadikan minyak kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar.
           Meskipun perkebunan kelapa sawit menyerap 2,5 juta tenaga kerja sedangkan bisnisnya menyerap 3,06 juta tenaga kerja, pendapat pro dan kontra terhadap industri kelapa sawit ini tetap timbul. Ada yang pro dengan alasan dapat meningkatkan perekonomian, ada juga yang kontra karena kelapa sawit membawa isu lingkungan yang negatif. Berikut beberapa fakta yang memaparkan bahwa kelapa sawit tidak selamanya memberikan dampak negatif dan “mengerikan” bagi lingkungan.
1.      Sebagai Bahan Baku Diesel
Emisi gas rumah kaca dar minyak kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan komoditas lain. Emisi rumah kaca kedelai adalah 1387 kg karbon sedangkan kelapa  sawit hanya setara dengan 835 kg karbon
2.      Menyerap Karbon Lebih Banyak
Kelapa sawit memiliki daur hidup 25-30 tahun yang mampu menyerap karbon lebih banyak seperti hutan alam. Oleh karena itu kelapa sawit sangat ramah lingkungan karena menjadi kanopi alami.
3.      Sebagai Bahan Baku Energi yang Ramah Lingkungan
Penggunaan minyak kelapa sawit dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca
4.      Limbah Kelapa Sawit dapat Dimanfaatkan
Selain produk utama CPO (Crude Palm Oil) yang dapat diolah menjadi beberapa produk, limbah kelapa sawit juga dapat digunakan untuk pupuk cair dan pupuk padat (kompos), mulsa pakan ternak, arang aktif, dsb. Pemanfaatan limbah ini menjadikan industri kelapa sawit menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan.


Fakta yang disebutkan diatas hanya beberapa dari fakta-fakta yang bersumber dari Ditjen Perkebunan dan Dinas Kehutanan. Meskipun kenyataan ini sudah terbukti, namun masih ada pihak yang menganggap bahwa perencanaan industri sawit adalah suatu bencana, terutama jika industri kelapa sawit di optimalkan di Aceh. Mengapa? Seorang alumni Fakultas Pertanian Unsyiah berpendapat, “Kelapa sawit di Aceh tidak perlu intensif. Masih ada industri olahan tanaman perkebunan yang bisa diintensifikasikan seperti industri olahan kopi, kakao, dan karet. Selain itu, perkebunan di Aceh juga sulit dilakukan karena belum ditetapkan sistem kebun plasma sehingga berefek pada bahan baku dan olahan” (Suryadi, 3/4/2014).

Pendapat lain mengatakan, “Dampak negatif dari kebun sawit itu ada 5 hal, yaitu : penyorobotan lahan penduduk, tergusurnya plasma nutfah, persaingan sumber pangan, pengurasan air tanah, dan pemanasan global” (Heri Djuned, 3/4/2014)

Baik, saya tidak mengatakan pendapat ini salah, tapi pendapat ini adalah pendapat yang timbul dari perspektif individu yang berbeda. Jika Aceh menjadi contoh yang spesifik, wajar saja, karena banyak hal yang dapat dijadikan bukti. Seperi kasus rawa tripa dan perebutan hak tanah antara warga dengan salah satu perusahaan kelapa sawit di Aceh.

Lalu, Industri Kelapa Sawit Intensif di Aceh, Amankah?
Menurut Sekjen Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) dalam Lokakarya “Industri Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Menyejahterakan” di Banda Aceh, Asmar Arsjad mengatakan bahwa industri perkebunan kelapa sawit sangat strategis diusahakan karena penghasilannya cukup besar, baik untuk PAD (Pendapatan Hasil Daerah) maupun untuk menyejahterakan masyarakat.
Ya, saya setuju dengan pendapat ini. Tapi, lagi-lagi , isu terhadap lingkungan tidak akan reda. Bagi saya ini juga diakibatkan karena komunikasi. Ada media dan jurnalis yang terlalu “lebay” memberitakan isu kelapa sawit sehingga memberikan respon yang signifikan terhadap aktivis maupun komunitas lingkungan. Seharusnya, jika memang kelapa sawit bersifat merusak karena menyerap banyak air tanah, maka menurut Asmar Asjad, wartawan harus langsung ke lapangan dan jangan terlalu ekstrim memberitakan sesuatu. Lalu, amankah? Bagi saya semuanya akan aman jika perusahan, masyarakat, dan pemerintah satu pikiran. Dan tentu saja ada yang harus dikorbankan demi suatu tujuan. Namun perlu dipikirkan lagi bagaimana pengorbanan tersebut tidak sebelah pihak dan resiko yang diperoleh adalah resiko yang paling kecil.

3P, Implementasi Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan
            Nah, apa yang harus diperhatikan agar tercipta “Principle Of Sustainable Development” untuk industri kelapa sawit? Kita perlu mengingat prinsip 3P (People, Planet, Profit). People (Socially Acceptable), disini maksudnya suatu pembangunan industri yang ideal itu harus bisa menjaga hubungan sosial dengan masyarakat. Caranya   yaitu dengan menghargai hak-hak penduduk setempat, tidak menentang hukum adat, dan memanfaatkan sumber daya sehingga muncul agribinis yang diterima oleh masyarkat. Kemudian Planet (Environtmentally Friendly), disini industri dituntut untuk bisa menjadi Eco-Industry yaitu dengan cara optimum penggunaan pupuk, pengendalian hayati hama dan penyakit, konservasi energi (bisa dijadikan biodiesel), dan meminimalisir limbah. Dan yang terakhir adalah Profit (Economically Viable), yaitu perbaikan produktivitas, peningkatan efisiensi SDA/SDM dan pemasaran. Pemasaran yang dimaksud adalah perluasan pasar dan diversifikasi produk.
Jika 3 ini sudah bisa kita optimalkan, tidak ada masalah kan? Masalahnya sekarang adalah kita sebagai masyarakat terlalu banyak beropini dan selalu menyalahkan pemerintah. Pemerintah memang pihak yang mempunyai andil dalam suatu peraturan. Tapi yang menjalankannya adalah masyarakat dan perusahaan tertentu. Jika 3 stakeholder ini saling beradu pendapat dan menyalahkan, tentu tidak ada untungnya. Malaysia dengan SDM yang lebih baik dari Indonesia akan tetap merajai produksi CPO dan mensejahterakan bangsanya. Kita? Tentu juga bisa.
Saya hanya menyatukan perbedaan pendapat yang sering saya dengar. Mudah-mudahan negeri kita ini terus terjaga dengan bangsanya yang mau membangun negeri. Yaitu bangsanya yang mau berpikir positif dan bijak menyelesaikan suatu permasalahan. Dilema perkebunan dan industri sawit ini mungkin memang tidak akan habisnya sampai dimasa depan. Tapi setidaknya kita tahu apa yang terjadi dan berharap kita lebih optimis menyikapi ini. Bagaimana? Siap membangun industri yang suistainable?




Tidak ada komentar:

Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...