Di
pagi hari Kamis lalu (17/4/2014), saya sedang asik menonton “Rush” sendirian di
rumah. Pada saat itu saya benar-benar sedang tegang melihat aksi Niki Lauda
(Daniel Bruhl). Ia mempertaruhkan 20% resiko hidupnya di arena F1, Jepang, melawan
rival nya yang paling berat, James Hunt (Chris Hemsworth). Tiba-tiba handphone
saya berdering tanda ada panggilan
masuk. Saya agak ragu sebenarnya karena harus “me-pause” adegan yang paling keren itu. Hehe. Akhirnya pun saya
menjawab panggilan. Wah ternyata itu adalah panggilan dari dosen saya, Pak
Baihaqi. Kira-kira begini lah pembicarannya.
“Keumala, kamu sedang dimana? Apa ada di kampus?”, tanya
beliau.
“Gak pak, kebetulan keumala sedang dirumah”...(dan
belum mandi), *haha
“Bisa kamu segera ke kampus untuk meliput berita? Saya
perlu rilis beritanya dan kalau bisa kamu kirimkan beritanya nanti ke media”,
jelasnya
“Wah, keumala kok gak tau informasinya ya
pak? Acaranya sudah dimulai pak?”, saya bertanya dengan nada agak gugup.
“Belum, ini masih pembukaan. Segera datang ke kampus
ya”
“Baik pak...”
Jeng
jereeng. Dengan keadaan masih bau asem karena belum mandi, akhirnya saya
mengalah untuk tidak lanjut menonton Niki Lauda yang super keren itu. Ke
kampus saya memakai baju DETaK. Baju itu
memang saya pakai tiap kali meliput berita. Saya juga membawa identitas diri
sebagai wartawan.
Tiba
di kampus, tepatnya di ruang MPR (Multi Room Purpose) saya agak kelabakan
melihat banyak sekali orang-orang berbaju dinas dan dosen-dosen diluar ruangan.
Sebaliknya, tidak banyak mahasiswa yang terlihat. Hingga akhirnya acara
dimulai, saya pun memberanikan diri masuk ke ruangan dan mencatat apa yang
perlu dicatat.
Simposium Pangan
Dan
ternyata, Fakultas Pertanian mengadakan Simposium Pangan dengan tema “Mengembalikan
Aceh Sebagai Lumbung Pangan Nasional”. Simposium ini diadakan untuk menyambut
ulang tahun ke-50 tahun Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Simposum
Pangan yang berlangsung dari pagi hingga sore hari mengundang beberapa
pembicara yaitu Hasballah Bin M. Thaib (Bupati Aceh Timur), Agus Bambang (Kabid
Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan), Muhammad Tanwier Mahdi (Wakil Ketua I DPR
Aceh), Perwakilan Kementerian Pertanian, perwakilan
PT. Sygenta Indonesia dan Bank Mandiri.
Simposium ini sebenarnya adalah serangkaian acara
dalam rangka menyambut ulang tahun emas (50 tahun) Fakultas Pertanian. Ini
adalah simposium pertama sebelum 3 simposium lain yang akan dilaksanakan pada
bulan 6,8, dan 11.
Setelah mewawancarai Bu Yuliani Aisyah, selaku ketua
panitia simposium yang juga Ketua Jurusan THP (Teknologi Hasil Pertanian), di
simposium ini diundang beberapa stakeholder
seperti Pemberi Kebijakan, Pemberi Anggaran dan Pelaksana.
Yang saya dapatkan selama duduk diruangan adalah Aceh
dalam 10 tahun terakhir ini mengalami penurunan dalam hal pembangunan pertanian
dan kontribusinya terhadap nasional.
Persentasenya 3,79% di tahun 2004 menjadi 2,18% di tahun 2012. Aceh
bukan lagi menjadi lumbung pangan karena banyak hasil produksi didistribusi ke
luar daerah, ke Medan contohnya.
Namun sebenarnya Aceh memiliki potensi untuk menjadi lumbung
pangan, terutama jika lahan yang ada benar-benar di optimalkan untuk pertanian.
Aceh Timur merupakan kabupaten yang diharapkan menjadi lumbung pangan untuk
komoditi Jagung, Padi dan Kedelai.
“Kita butuh lahan produktif,
yaitu lahan abadi yang berfungsi untuk menciptakan benih-benih unggul nantinya.
Lahan tersebut bisa kita tanami dengan tanaman palawija. Jadi, ketersedian
lahan adalah hal yang terpenting saat ini”, ungkap Hasballah Bin M. Thaib,
Bupati Aceh Timur dalam penyampaiannya.
Mengembalikan Aceh sebagai lumbung pangan dapat dilakukan dengan
cara mengoptimalkan areal dan membuka areal baru untuk tanaman yang berpotensi
baik untuk ekonomi rakyat. Meskipun banyak faktor pembatas seperti varietas
benih, dan bantuan anggaran, namun tantangan ini harus siap dihadapi oleh tiap stakeholder agar muncul solusi.
Harapan menjadikan Aceh sebagai lumbung pangan tidak akan
terwujud jika mekanisme antar stakeholder selama ini tidak diperbaiki. Baik dari
pemeritah pusat, provinsi maupun kabupaten. Lahan yang sudah ada harus
dioptimalkan dan jika perlu dibuka areal khusus untuk pertanian termasuk
lengkap dengan irigasi dan kebutuhan lain yang mendukung.
Sebagai pendengar yang baik dengan polpen dan kertas yang ada
ditangan, saya menangkap ada emosi yang mucul diantara pembicara. Hal ini
terbukti saat Bupati Aceh Timur, Rocky (Panggilan gaul Bupati Aceh Timur)
seperti memojokkan pihak DPR dan Dinas yang menganggap kucuran dana untuk program
di kabupaten banyak “disembunyikan”. Tapi Alhamdulillah simposium masih tetap
berjalan dengan lancar karena pada akhirnya emosi mereka tidak menimbulkan suat
permasalahan. Emosi hanya sedikit terpancing karena masing-masing memberikan
opini yang berbeda.
“Yang paling penting sekarang ini
adalah ketersedian benih”, ujar Agus Bambang, perwakilan dari Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Aceh. Sedangkan Bupati Aceh
Timur mengatakan bahwa yang paling penting itu adalah ketersediaan lahan. Jika
lahan produktif sudah ada, maka akan mudah bagi kita untuk menciptakan benih. Pendapat
boleh beda sih, tapi tujuan tetap sama kan? Setuju?
Ngobrol
Bareng “Petinggi”
Coba pikir, apa enaknya sih jadi Wartawan? Jalan kesana kesini,
panas-panasan, dll. Tapi tahukah kamu? Sebagai pihak yang paling netral,
sebenarnya wartawan adalah profesi yang paling keren. Kenapa? Karena kita dapat
bertemu dengan orang-orang hebat dan saling bertukar pikiran. Ya, ini lah yang
saya rasakan.
Pukul 12.00, setelah simposium berakhir, saya mencari ketua
panitia simposium untuk menanyakan hal-hal lain yang menunjang rilis. Ketika
saya bertemu dengan ketua panitia, saya malah disuruh bergabung dengan
rombongan yang terdiri dari Dekan, Ketua Jurusan, Bupati Aceh Timur beserta
staff, perwakilan dari PT.Sygenta Indonesia dan
Kementerian Pertanian. (Wah ada
apa ini? Saya kan cuma mau nanya sedikit saja. Kan gak mesti ikut rombongan
orang hebat itu kan? Haduh. Saya kan jadi maluuu) Dengan perasaan agak
gugup, akhirnya saya masuk ke mobil Pak Dekan. Agar tidak terlalu kaku, saya
mencoba bersikap “luwes” dan memulai pembicaraan dengan Bu Yuliani, Ketua
Jurusan THP.
Akhirnya setelah makan siang (ditempat yang saya kira agak
elit), saya pun akhirnya dipersilahkan untuk “ngobrol” dengan Pak Bupati dan
perwakilan dari Kementerian Pertanian. Yaah, sebenarnya saya masih amatiran.
Tapi saya berusaha profesional. Mencoba bertanya, mengerti dan kembali bertanya
agar tidak terlihat kaku.
Setelah bertanya panjang lebar, akhirnya saya beserta rombongan
kembali lagi ke kampus dan melanjutkan sesi siang. Pada malam hari, akhirnya berita berhasil
terpublish di DETaK. Beritanya bisa baca di sini. Tapi sayangnya saya belum
sempat mengirim ke Serambi karena tulisan saya terlalu telat dikirim.
So, saya merasa bahwa “Do
what you love and love what you do” adalah benar adanya. Saya menyukai
jurnalistik dan akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan narasumber secara
langsung. Berkahnya bukan karena saya bisa menikmati makan gratis. Tapi karena
saya bisa membawa pekerjaan yang saya sukai ini bermanfaat untuk orang lain
melalui tulisan. Wawasan saya pun kian bertambah karena berdiskusi langsung
dengan orang-orang yang sudah ahli dibidangnya. Semua pekerjaan adalah baik
jika kita melaksanakannya dengan ikhlas, benar kan?