Minggu, 27 April 2014

Gampong Pande, The Most Historical Site in Banda Aceh

On Tuesday (April 22 2014), My community Turun Tangan, attended to Napak Tilas History of Banda Aceh. The theme was “Wisata Titik Nol Gampong Pande”. This tour was not only followed by a communities in Banda Aceh, but also followed by senior high school students and the prominent people in goverment. It had begun in the morning and finished in noon.

The Program which was sponsored by Disbudpar and KNPI Aceh was held to celebrate 809 anniversary of Banda Aceh city. There were many other communities which also supported this program such as Agam Inong Banda Aceh, BEM Teknik Serambi Mekkah, Diwana Institute, HMI, and Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah).  Actually, this program was the second time after goverment had held it last year. Despite of second time, society was still enthusiastic to attend it.

Honestly, I have never visited Gampong Pande before. My friends too. I have known about this historical site since horrendous discovery of 3000 dirham (gold coins) last year. News in media said that Gampong Pande was the center of Banda Aceh where empire of Aceh built. For that reason, I thought going to Gampong Pande was great chance to know more about history of Banda Aceh.

My friends and I arrived at 9.00 WIB at Gampong Pande. We were rather confused because there were no many visitors there. But, several minutes later, they came. Many of them were students and civil servants. For the first agenda, among the others, we went to Tuanku Dikandang tomb. Tuanku Dikandang was one of the evidences in the past. Gampong Pande has been ever  became a center of Islamic empire. He was a in charge in that era.

Based on the informations I got, Gampong Pande was a the original name of Banda Aceh. Many Sultan tombs were found there. These were the evidences that Islamic Empire had ever stayed at Gampong Pande. Why did it call as Pande (Acehnese language: Clever)? Was that place inhabited by clever (expert) people on that time? Obviously, not only there were many Sultan and Lakseumana tombs were found there but also it was the place where the expert goldsmiths lived. The handicrafts they made were sold to Turkey, Malaysia, French, and UK. HencHHence, it called as Gampong Pande. Base on these discoveries, Banda Aceh had become the oldest city in South-East Asia. Aceh Empire was very famous when it was in leadership era of  Iskandar Muda and also in others Sultan era.

Illiza Sa’aduddin Djamal, who has responsible for government in Banda Aceh city said that for celebrate this 809 Kota Banda Aceh anniversary, there were 2 things that we have to do. First, we must have a good “Acehnese” manners. The manners were how to  “peumulia jamee”, how to dress-well as a moslem, and so on. Second, we must keep our cultural heritage due to it was our precious thing. Gampong Pande is one of the most historical site which we have to keep. So who will keep our cultural heritage if we do not?


After we had listened and discussed with Aceh Historian, we had luch and talked to each others. I was glad  to attend this historical tourism. I think this progam was very useful, especially for youth. Gampong Pande is not the only one historical site in Banda Aceh, but also there are Putroe Phang Park, Keumala Hayati Harbor and many others site. We have to know more about our historical site. The most quote which makes me impressed is “Mate Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat pat Tamita”. I hope we can learn everything about Aceh’s heritage and know how to keep our heritage well.

Minggu, 20 April 2014

Simposium yang Membawa Berkah

Di pagi hari Kamis lalu (17/4/2014), saya sedang asik menonton “Rush” sendirian di rumah. Pada saat itu saya benar-benar sedang tegang melihat aksi Niki Lauda (Daniel Bruhl). Ia mempertaruhkan 20% resiko hidupnya di arena F1, Jepang, melawan rival nya yang paling berat, James Hunt (Chris Hemsworth). Tiba-tiba handphone saya berdering  tanda ada panggilan masuk. Saya agak ragu sebenarnya karena harus “me-pause” adegan yang paling keren itu. Hehe. Akhirnya pun saya menjawab panggilan. Wah ternyata itu adalah panggilan dari dosen saya, Pak Baihaqi. Kira-kira begini lah pembicarannya.
“Keumala, kamu sedang dimana? Apa ada di kampus?”, tanya beliau.
“Gak pak, kebetulan keumala sedang dirumah”...(dan belum mandi), *haha
“Bisa kamu segera ke kampus untuk meliput berita? Saya perlu rilis beritanya dan kalau bisa kamu kirimkan beritanya nanti ke media”, jelasnya
Wah, keumala kok gak tau informasinya ya pak? Acaranya sudah dimulai pak?”, saya bertanya dengan nada agak gugup.
“Belum, ini masih pembukaan. Segera datang ke kampus ya”
“Baik pak...”
Jeng jereeng. Dengan keadaan masih bau asem karena belum mandi, akhirnya saya mengalah untuk tidak lanjut menonton Niki Lauda yang super keren itu. Ke kampus  saya memakai baju DETaK. Baju itu memang saya pakai tiap kali meliput berita. Saya juga membawa identitas diri sebagai wartawan.

Tiba di kampus, tepatnya di ruang MPR (Multi Room Purpose) saya agak kelabakan melihat banyak sekali orang-orang berbaju dinas dan dosen-dosen diluar ruangan. Sebaliknya, tidak banyak mahasiswa yang terlihat. Hingga akhirnya acara dimulai, saya pun memberanikan diri masuk ke ruangan dan mencatat apa yang perlu dicatat.
Simposium Pangan
Dan ternyata, Fakultas Pertanian mengadakan Simposium Pangan dengan tema “Mengembalikan Aceh Sebagai Lumbung Pangan Nasional”. Simposium ini diadakan untuk menyambut ulang tahun ke-50 tahun Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Simposum Pangan yang berlangsung dari pagi hingga sore hari mengundang beberapa pembicara yaitu Hasballah Bin M. Thaib (Bupati Aceh Timur), Agus Bambang (Kabid Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan), Muhammad Tanwier Mahdi (Wakil Ketua I DPR Aceh), Perwakilan Kementerian Pertanian, perwakilan PT. Sygenta Indonesia dan Bank Mandiri.
Simposium ini sebenarnya adalah serangkaian acara dalam rangka menyambut ulang tahun emas (50 tahun) Fakultas Pertanian. Ini adalah simposium pertama sebelum 3 simposium lain yang akan dilaksanakan pada bulan 6,8, dan 11.
Setelah mewawancarai Bu Yuliani Aisyah, selaku ketua panitia simposium yang juga Ketua Jurusan THP (Teknologi Hasil Pertanian), di simposium ini diundang beberapa stakeholder seperti Pemberi Kebijakan, Pemberi Anggaran dan Pelaksana.
Yang saya dapatkan selama duduk diruangan adalah Aceh dalam 10 tahun terakhir ini mengalami penurunan dalam hal pembangunan pertanian dan kontribusinya terhadap nasional.  Persentasenya 3,79% di tahun 2004 menjadi 2,18% di tahun 2012. Aceh bukan lagi menjadi lumbung pangan karena banyak hasil produksi didistribusi ke luar daerah, ke Medan contohnya.
Namun sebenarnya Aceh memiliki potensi untuk menjadi lumbung pangan, terutama jika lahan yang ada benar-benar di optimalkan untuk pertanian. Aceh Timur merupakan kabupaten yang diharapkan menjadi lumbung pangan untuk komoditi Jagung, Padi dan Kedelai.
“Kita butuh lahan produktif, yaitu lahan abadi yang berfungsi untuk menciptakan benih-benih unggul nantinya. Lahan tersebut bisa kita tanami dengan tanaman palawija. Jadi, ketersedian lahan adalah hal yang terpenting saat ini”, ungkap Hasballah Bin M. Thaib, Bupati Aceh Timur dalam penyampaiannya.
Mengembalikan Aceh sebagai lumbung pangan dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan areal dan membuka areal baru untuk tanaman yang berpotensi baik untuk ekonomi rakyat. Meskipun banyak faktor pembatas seperti varietas benih, dan bantuan anggaran, namun tantangan ini harus siap dihadapi oleh tiap stakeholder agar muncul solusi.
Harapan menjadikan Aceh sebagai lumbung pangan tidak akan terwujud jika mekanisme antar stakeholder selama ini tidak diperbaiki. Baik dari pemeritah pusat, provinsi maupun kabupaten. Lahan yang sudah ada harus dioptimalkan dan jika perlu dibuka areal khusus untuk pertanian termasuk lengkap dengan irigasi dan kebutuhan lain yang mendukung.
Sebagai pendengar yang baik dengan polpen dan kertas yang ada ditangan, saya menangkap ada emosi yang mucul diantara pembicara. Hal ini terbukti saat Bupati Aceh Timur, Rocky (Panggilan gaul Bupati Aceh Timur) seperti memojokkan pihak DPR dan Dinas yang menganggap kucuran dana untuk program di kabupaten banyak “disembunyikan”. Tapi Alhamdulillah simposium masih tetap berjalan dengan lancar karena pada akhirnya emosi mereka tidak menimbulkan suat permasalahan. Emosi hanya sedikit terpancing karena masing-masing memberikan opini yang berbeda.
“Yang paling penting sekarang ini adalah ketersedian benih”, ujar Agus Bambang, perwakilan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh. Sedangkan Bupati Aceh Timur mengatakan bahwa yang paling penting itu adalah ketersediaan lahan. Jika lahan produktif sudah ada, maka akan mudah bagi kita untuk menciptakan benih. Pendapat boleh beda sih, tapi tujuan tetap sama kan? Setuju?
Ngobrol Bareng “Petinggi”
Coba pikir, apa enaknya sih jadi Wartawan? Jalan kesana kesini, panas-panasan, dll. Tapi tahukah kamu? Sebagai pihak yang paling netral, sebenarnya wartawan adalah profesi yang paling keren. Kenapa? Karena kita dapat bertemu dengan orang-orang hebat dan saling bertukar pikiran. Ya, ini lah yang saya rasakan.
Pukul 12.00, setelah simposium berakhir, saya mencari ketua panitia simposium untuk menanyakan hal-hal lain yang menunjang rilis. Ketika saya bertemu dengan ketua panitia, saya malah disuruh bergabung dengan rombongan yang terdiri dari Dekan, Ketua Jurusan, Bupati Aceh Timur beserta staff, perwakilan dari PT.Sygenta Indonesia dan  Kementerian Pertanian. (Wah ada apa ini? Saya kan cuma mau nanya sedikit saja. Kan gak mesti ikut rombongan orang hebat itu kan? Haduh. Saya kan jadi maluuu) Dengan perasaan agak gugup, akhirnya saya masuk ke mobil Pak Dekan. Agar tidak terlalu kaku, saya mencoba bersikap “luwes” dan memulai pembicaraan dengan Bu Yuliani, Ketua Jurusan THP.
Akhirnya setelah makan siang (ditempat yang saya kira agak elit), saya pun akhirnya dipersilahkan untuk “ngobrol” dengan Pak Bupati dan perwakilan dari Kementerian Pertanian. Yaah, sebenarnya saya masih amatiran. Tapi saya berusaha profesional. Mencoba bertanya, mengerti dan kembali bertanya agar tidak terlihat kaku.
Setelah bertanya panjang lebar, akhirnya saya beserta rombongan kembali lagi ke kampus dan melanjutkan sesi siang.  Pada malam hari, akhirnya berita berhasil terpublish di DETaK. Beritanya bisa baca di sini. Tapi sayangnya saya belum sempat mengirim ke Serambi karena tulisan saya terlalu telat dikirim.
So, saya merasa bahwa “Do what you love and love what you do” adalah benar adanya. Saya menyukai jurnalistik dan akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan narasumber secara langsung. Berkahnya bukan karena saya bisa menikmati makan gratis. Tapi karena saya bisa membawa pekerjaan yang saya sukai ini bermanfaat untuk orang lain melalui tulisan. Wawasan saya pun kian bertambah karena berdiskusi langsung dengan orang-orang yang sudah ahli dibidangnya. Semua pekerjaan adalah baik jika kita melaksanakannya dengan ikhlas, benar kan?






Jumat, 18 April 2014

Agriculture is My Choice

On one day, I asked something to my mom enthusiasticallly, “Mom, if we eat spinach, what nutrient we will get? Is it a vitamin? Which vitamin is it? Is it useful for my eyes?”. I was so curious. As a Biology teacher, my mom anwered my questions. That is why I like to ask everything to her. I am not a relax if something makes me anxious. When I was a student in senior high school, I was ambitious to be a nutrient specialist. I loved to find out the nutrient of food. At the weekend after school, besides writting the poems, I used to collect all references about nutrient of food. Week by week, I searched them on the internet and made a collection. There were some photos and the explanation of consumption effects in it. My friends borrowed my collection bind and I was really pleasure. I hoped that I would continue my study to famous university.

In fact, several years later, I failed to continue my study to the nutrious departement. Finally my destiny was being accepted in Agricultural of Economic of Syiah Kuala University. It was unpredictable! Because I had absolutely never thought about agriculture before. However, my parents and my senior always support me even if I had to forget my dream as nutrient specialist. They made me sure that agriculture is a God choice. “Agriculture will be your passion if you love it so much, you had better go with it”, said Bang Toga, one of my motivator senior.

Year by year, I go through my life as an agriculture student in Unsyiah. At first and second year, I did not join any organisations in campus because I had to prove to my beloved parent that I could study well and made them proud. And you know? I successed to get GPA over 3,5. My parent was proud of me. I was so grateful and blessing. I said thanks to Allah.

On my third and fourth study year in campus, I started to join some student organisations such as DETaK, BEM, Himasep, Kophi, Sobat Bumi and vounterring in Turun Tangan Aceh. I also joined IYF and ILC representative from Aceh. I think what I have gotten until this time are not my true succsess. I just want to feel free and get many friends. I have been learning everything about leadership, success, love, hopeful, spirit and modesty from inspiring people. Because we can learn everything anywhere, anytime and by anyone.

Accepting choice to be an Agriculture student is my destiny. I believe that my dreams are started by this choice. I wish I could continue my study abroad and get master degree. Germany and Australia are my country where I will visit and study later. I would like to take Food Safety or Agricultural Economics and Rural Development major. I want to be a lecturer instead of nutrient specialist. “Homo proponit, seud zeus disporit”. Man proposes but God disposes, does not it? Dream is our prayer. I trust it.

So guys, have you taken the choice? Have you dreamt the dreams? Never be pessimist. I had ever watched a movie “Forrest Gump”. Forrest as a main actor. He said, ”Life is like a box of chocolates. You never know what you are gonna get”. If you are an Agriculture student, it is ok! It is great! Agriculture is the best field. Indonesia, especially Aceh, expects that it will be the best future chance. So, do you dare to choose? Yes you do ^_^

Minggu, 06 April 2014

Dilema Industri Kelapa Sawit

Ketika Fakta Berbicara
            Tak dipungkiri lagi, kini kelapa sawit menjadi tanaman yang memiliki prospek tinggi dalam hal ekonomi. Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit dan menjadikan minyak kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar.
           Meskipun perkebunan kelapa sawit menyerap 2,5 juta tenaga kerja sedangkan bisnisnya menyerap 3,06 juta tenaga kerja, pendapat pro dan kontra terhadap industri kelapa sawit ini tetap timbul. Ada yang pro dengan alasan dapat meningkatkan perekonomian, ada juga yang kontra karena kelapa sawit membawa isu lingkungan yang negatif. Berikut beberapa fakta yang memaparkan bahwa kelapa sawit tidak selamanya memberikan dampak negatif dan “mengerikan” bagi lingkungan.
1.      Sebagai Bahan Baku Diesel
Emisi gas rumah kaca dar minyak kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan komoditas lain. Emisi rumah kaca kedelai adalah 1387 kg karbon sedangkan kelapa  sawit hanya setara dengan 835 kg karbon
2.      Menyerap Karbon Lebih Banyak
Kelapa sawit memiliki daur hidup 25-30 tahun yang mampu menyerap karbon lebih banyak seperti hutan alam. Oleh karena itu kelapa sawit sangat ramah lingkungan karena menjadi kanopi alami.
3.      Sebagai Bahan Baku Energi yang Ramah Lingkungan
Penggunaan minyak kelapa sawit dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca
4.      Limbah Kelapa Sawit dapat Dimanfaatkan
Selain produk utama CPO (Crude Palm Oil) yang dapat diolah menjadi beberapa produk, limbah kelapa sawit juga dapat digunakan untuk pupuk cair dan pupuk padat (kompos), mulsa pakan ternak, arang aktif, dsb. Pemanfaatan limbah ini menjadikan industri kelapa sawit menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan.


Fakta yang disebutkan diatas hanya beberapa dari fakta-fakta yang bersumber dari Ditjen Perkebunan dan Dinas Kehutanan. Meskipun kenyataan ini sudah terbukti, namun masih ada pihak yang menganggap bahwa perencanaan industri sawit adalah suatu bencana, terutama jika industri kelapa sawit di optimalkan di Aceh. Mengapa? Seorang alumni Fakultas Pertanian Unsyiah berpendapat, “Kelapa sawit di Aceh tidak perlu intensif. Masih ada industri olahan tanaman perkebunan yang bisa diintensifikasikan seperti industri olahan kopi, kakao, dan karet. Selain itu, perkebunan di Aceh juga sulit dilakukan karena belum ditetapkan sistem kebun plasma sehingga berefek pada bahan baku dan olahan” (Suryadi, 3/4/2014).

Pendapat lain mengatakan, “Dampak negatif dari kebun sawit itu ada 5 hal, yaitu : penyorobotan lahan penduduk, tergusurnya plasma nutfah, persaingan sumber pangan, pengurasan air tanah, dan pemanasan global” (Heri Djuned, 3/4/2014)

Baik, saya tidak mengatakan pendapat ini salah, tapi pendapat ini adalah pendapat yang timbul dari perspektif individu yang berbeda. Jika Aceh menjadi contoh yang spesifik, wajar saja, karena banyak hal yang dapat dijadikan bukti. Seperi kasus rawa tripa dan perebutan hak tanah antara warga dengan salah satu perusahaan kelapa sawit di Aceh.

Lalu, Industri Kelapa Sawit Intensif di Aceh, Amankah?
Menurut Sekjen Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) dalam Lokakarya “Industri Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Menyejahterakan” di Banda Aceh, Asmar Arsjad mengatakan bahwa industri perkebunan kelapa sawit sangat strategis diusahakan karena penghasilannya cukup besar, baik untuk PAD (Pendapatan Hasil Daerah) maupun untuk menyejahterakan masyarakat.
Ya, saya setuju dengan pendapat ini. Tapi, lagi-lagi , isu terhadap lingkungan tidak akan reda. Bagi saya ini juga diakibatkan karena komunikasi. Ada media dan jurnalis yang terlalu “lebay” memberitakan isu kelapa sawit sehingga memberikan respon yang signifikan terhadap aktivis maupun komunitas lingkungan. Seharusnya, jika memang kelapa sawit bersifat merusak karena menyerap banyak air tanah, maka menurut Asmar Asjad, wartawan harus langsung ke lapangan dan jangan terlalu ekstrim memberitakan sesuatu. Lalu, amankah? Bagi saya semuanya akan aman jika perusahan, masyarakat, dan pemerintah satu pikiran. Dan tentu saja ada yang harus dikorbankan demi suatu tujuan. Namun perlu dipikirkan lagi bagaimana pengorbanan tersebut tidak sebelah pihak dan resiko yang diperoleh adalah resiko yang paling kecil.

3P, Implementasi Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan
            Nah, apa yang harus diperhatikan agar tercipta “Principle Of Sustainable Development” untuk industri kelapa sawit? Kita perlu mengingat prinsip 3P (People, Planet, Profit). People (Socially Acceptable), disini maksudnya suatu pembangunan industri yang ideal itu harus bisa menjaga hubungan sosial dengan masyarakat. Caranya   yaitu dengan menghargai hak-hak penduduk setempat, tidak menentang hukum adat, dan memanfaatkan sumber daya sehingga muncul agribinis yang diterima oleh masyarkat. Kemudian Planet (Environtmentally Friendly), disini industri dituntut untuk bisa menjadi Eco-Industry yaitu dengan cara optimum penggunaan pupuk, pengendalian hayati hama dan penyakit, konservasi energi (bisa dijadikan biodiesel), dan meminimalisir limbah. Dan yang terakhir adalah Profit (Economically Viable), yaitu perbaikan produktivitas, peningkatan efisiensi SDA/SDM dan pemasaran. Pemasaran yang dimaksud adalah perluasan pasar dan diversifikasi produk.
Jika 3 ini sudah bisa kita optimalkan, tidak ada masalah kan? Masalahnya sekarang adalah kita sebagai masyarakat terlalu banyak beropini dan selalu menyalahkan pemerintah. Pemerintah memang pihak yang mempunyai andil dalam suatu peraturan. Tapi yang menjalankannya adalah masyarakat dan perusahaan tertentu. Jika 3 stakeholder ini saling beradu pendapat dan menyalahkan, tentu tidak ada untungnya. Malaysia dengan SDM yang lebih baik dari Indonesia akan tetap merajai produksi CPO dan mensejahterakan bangsanya. Kita? Tentu juga bisa.
Saya hanya menyatukan perbedaan pendapat yang sering saya dengar. Mudah-mudahan negeri kita ini terus terjaga dengan bangsanya yang mau membangun negeri. Yaitu bangsanya yang mau berpikir positif dan bijak menyelesaikan suatu permasalahan. Dilema perkebunan dan industri sawit ini mungkin memang tidak akan habisnya sampai dimasa depan. Tapi setidaknya kita tahu apa yang terjadi dan berharap kita lebih optimis menyikapi ini. Bagaimana? Siap membangun industri yang suistainable?




Sindiran Heboh: Yang Gaji Kamu Siapa?

Sejak video seorang Menteri Kominfo Rudiantara, beberapa waktu lalu beredar dan menghebohkan sejagat dunia maya dan dunia nyata, saya pun t...