Jumlah mahasiswa pascasarjana sejak 10 tahun terkahir
mengalami lonjakan 78 persen dari sekira 100 ribu menjadi lebih 180 ribu. Padahal,
gelar master ini ternyata sering tidak menjadi kriteria pertama yang dipertimbangkan
oleh perushaan saat berburu karyawan baru.
Menurut Job Bank, sebesar 66 persen
dari perusahaan yang disurvei menyatakan, gelar master tidak akan secara
signifikan menguntungkan pencari kerja. “Tingkat gelar seseorang biasanya bukan
sesuatu yang paling dipedulikan oleh perusahaan. Kami lebih suka memiliki
seseorang yang memiliki kepemimpinan yang baik sejalan dengan visi perusahaan kami.”
Kata Publi Affairs Officer Carrefour Manajer Margery Ho, seperti dikutip dari
China Post, Minggu (21/10)
Namun, menurut Job Bank, masih ada
cukup banyak industri yang memberikan bobot tinggi untuk gelar master terutama
di sektor-sektor yang memerlukan keahlian profesional, seperti teknologi
informasi dan biokimia. “Apakah suatu industri membutuhkan karyawan bergelar
master atau tidak, itu tergantung pada jenis industri tersebut,” ujar Ho.
Deputy General Manager Job Bank
mengungkapkan, banyak lulusan perguruan tinggi memutuskan untuk mencoba meraih
gelar master karena takut manjadi pengangguran segera setelah lulus. Hal ini
terjadi akibat adanya laporan pada Agustus lalu bahwa sebesar 4,4 persen
pengangguran adalah bergelar sarjana.
“sebuah gelar master memang bernilai
dan diakui. Namun yang lebih penting, kita harus mencari tahu apa jenis
kemampuan yang akan membuat industri tertarik pada kita sebelum akhirnya terjun
ke pendidikan tinggi, “ papar Ho.
Untuk beberapa industri seperti
komunikasi dan pelayanan, Hor menyarankan agar para luluasan untuk masuk ke
lingkungan kerja sebelum kembali melanjutkan gelar master. Sebab, pada bidang
ini, pengalaman kerja sangat dibutuhkan. “Setelah beberapa tahun, Anda dapat
kembali dan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi untuk kesempatan gaji
yang lebih tinggi pula,” tukasnya.
Berdasarkan survei tersebut,
rata-rata gaji awal untuk lulusan bergelar master adalah TWD35.132 atau sekira Rp
11,5 juta (Rp 328 per New Taiwan Dollar). Namun, sebesar 26,9 persen perusahaan
mengatakan, mereka diminta untuk menghindari mempekerjakan para lulusan S-2
untuk mengurangi biaya. Selain itu, sejumlah perusahaan ini mengaku,
tugas-tugas yang diberikan kepada karyawan tidak membutuhkan pendidikan tinggi
dan mereka mengkhawatirkan jika para lulusan S-2 memiliki sifat arogan.
“kami pernah memiliki orang-orang
dengan glar master yang ingin melewati bagian dasar sebuah pekerjaan dan ingin
langsung melompat ke tingkat manajer. Mereka tidak mengerti jika level dasar
adalah tempat untuk memulai bagi setiap orang. Apalagi jika dibandingkan dengan
mereka yang langsung mulai bekerja setelah lulus, maka para lulusan S-2 ini
sudah dua tahun tertinggal mengenai pengalaman pekerjaan.” Kata Margery Ho.
Sumber :
Serambi News
1 komentar:
Opini yang bagus Del'. Coba aja kirim ke redaksi @Serambinews edisi mahasiswa hari sabtu.
Iyah banyak yg nganggur nih, ane aja di FKip jadi Sales Caunter di Shorom. minimnya kerja di aceh memaksa ane ikut berjingkrak di lapangan.
oh ya, bank job apa ya del'?
Posting Komentar