Dikenal sebagai The Kitchen of The World, hingga kini Thailand
masih bertahan menjadi negara eksportir beras terbesar di dunia terutama untuk
kawasan Asia. Perhatian lebih yang diberikan sejak masa Raja Bhumibol Adulyadej
pada sektor pertanian menjadikan potensi pertanian berpengaruh positif pada
perekonomian, menyerap 38,2% tenaga kerja serta memberikan kontribusi GDP
sebesar 12,2%. Sedangkan World Travel
& Tourism Council (WTTC) menyatakan
bahwa sebesar 10% GDP sektor pertanian berpengaruh positif pada perekonomian. Sektor travel and tourism Thailand pun menjadi
sektor kedua paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan banyak
lokasi wisata Thailand yang berbasis pertanian. Tercatat bahwa pada tahun 2016 wisatawan
yang datang ke Thailand hampir mencapai 32 juta orang dan mayoritas wisatawan
yang berasal dari China, Malaysia, Rusia dan
Jepang. Angka ini masih terlalu tinggi dibandingkan Indonesia yang tahun
2017 ini baru menargetkan jumlah wisatawan mencapai 15 juta orang.
Melihat kesuksesan Thailand mengembangkan wisata berbasis
produk pertanian, Indonesia sebenarnya memiliki peluang yang sama. Hanya saja pengeloaannya
masih kalah cerdas dibandingkan Thailand. Pemerintah selama ini hanya berfokus
pada satu titik, bukan pada keseluruhan sistem disektor pertanian. Pemberian
subsidi benih dan pupuk masih terus berjalan sementara dari sisi penjualan
produk pertanian belum optimal. Pemerintah terkesan setengah hati menangani permasalah pertanian dan
tidak mempertimbangkan subsistem agribisnis keseluruhan.
Ada Apa dengan Pasar Tradisional?
Berbicara tentang sistem
agribisnis, maka juga berbicara tentang proses dari hulu ke hilir. Maka faktor
pendorong naiknya permintaan masyarakat kini tak hanya berorientasi pada
kualitas produk, tapi juga daya tarik faktor lain, misalnya jenis pasar. Oleh
karena itu keberadaan pasar sebagai tempat proses pertukaran barang, jasa dan
informasi menjadi hal penting dalam manajemen pemasaran.
Baik pasar tradisional
maupun pasar modern memiliki daya tarik yang berbeda. Sayangnya, masyarakat
lebih memilih berbelanja di pasar modern dibanding di pasar tradisional. Padahal
keberadaan pasar tradisional tidak hanya menjadi tempat untuk menjaga stabilitas
pangan tapi juga sekaligus tempat memamerkan komoditi unggulan pertanian daerah
dengan nuansa budaya sosial yang khas.
Thailand misalnya,
pasar tradisional menjadi lokasi wisata yang diincar para wisatawan. Hal ini
terbukti dari banyaknya lokasi yang “disulap” menjadi lokasi wisata, bahkan
pasar tradisional sekali pun. Pasar Or Tor Kor yang berlokasi di Bangkok, tak
jauh dari pasar mingguan Chatuchak, terkenal sebagai pasar segar peringkat
keempat di dunia versi CNN Travel setelah pasar La Boqueria di Barcelona, Pasar
Tsukiji di Tokyo dan Pasar Union Square di New York. Pasar ini menjadi surga
berbagai macam buah eksotis tropis di seantero Thailand bahkan diseluruh Asia.
Pasar Or Tor Kor adalah
contoh wisata pasar tradisional di Asia Tenggara yang patut dicontoh, terutama
dari segi manajemen pemasaran agribisnis yang dirancang sangat strategis
melalui sebuah pasar tradisonal. Pasar ini memperhatikan kebersihan dan
kerapian lokasi, kualitas produk jual yang berstandar tinggi serta kuantitas
produk domestik dan impor yang tak diragukan lagi. Pasar ini menjalankan sistem
agribisnis yang terintegrasi dari hulu hingga hilir dan memadukan potensi wisata
yang prospektif. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Potensi Wisata Pasar Tradisional
Pemerintahan
Presiden Jokowi dalam program nawacitanya di tahun 2017 ini berencana untuk
membangun 1.003 pasar tradisional hampir disetiap di Indonesia. Pasar-pasar
tradisional dibangun dan dibenahi dan ditargetkan pemerintah menjadi pasar
pariwisata dan tradisional terpadu yang berdaya saing. Pemerintah memastikan tidak
hanya berfokus pada pembangunan fisik,
tapi juga pembenahan dari sisi manajemen pedagang, seperti manajemen stok,
keuangan, tata letak barang dll.
Namun kini muncul tantangan
lain. Keberadaan pasar modern yang semakin menjamur mengurangi minat masyarakat untuk berbelanja
di pasar tradisional. Maka kini Menko Perekonomian mengeluarkan kebijakan
pembatasan zonasi minimarket yang kini berjumlah 14 ribu unit agar tidak
merajalela di permukiman masyarakat. Regulasi terbaru ini dilakukan untuk
melindungi pasar tradisional yang tergerus zaman. Tak hanya itu, pemerintah
juga seharusnya perlu memastikan hubungan yang jelas antara petani atau
pedagang dengan pasar tradisional. Memutuskan rantai pemasaran yang terlalu panjang
serta mendorong petani untuk memperkuat bargaining
position melalui collective action
berupa kelompok tani.
Pasar tradisional
dikatakan berhasil jika pasar tidak hanya menjadi tempat berbelanja tapi juga
menjadi tempat wisata. Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian
dan Pemerintah Daerah bersama-sama menjadikan pasar tradisional tak hanya untuk
meningkatkan omset pedagang, tapi juga meningkatkan suasana ekonomi pasar yang
kompetitif, berdaya saing, dan berpotensi wisata.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Sains Agribisnis IPB, Penerima Beasiswa
Pendidikan Indonesia LPDP RI dan tergabung di Organisasi Mata Garuda Daerah
Aceh (Saleum)
*Tulisan ini dimuat pada Rubrik Opini di Media Surat Kabar Republika Edisi 8 Juli 2017